Lelaki Berambut Sebahu Itu


Aku mencoba untuk menghilangkan penat. Berkumpul dengan beberapa teman wanitaku. Kami menerjang gerimis malam ini, mencari celah dalam padatnya lelintas mesin yang menderu. Tak berapa lama kami tiba di sebuah pendopo wangi yang temaram. Karta Pustaka orang menyebutnya. Bercahaya warna kuning dengan lantai mengkilap keemasan. Beberapa lelaki tua mempersilahkan untuk masuk dan duduk di barisan kursi terdepan. Sesaat kami terhenyak ketika melihat para tamu membawa kartu undangan. Manis. Kami tamu yang tak diundang. Kadang kami merasa harus senantiasa merasa lepas dengan keadaan seperti ini. Aku sendiri mencoba untuk tetap tenang. Luapan kebingungan padam seketika tatkala kami melihat guru tari kami menyambut tamu yang lain. Kami serentak berteriak. Tidak keras namun cukup untuk membuat beberapa tamu undangan menoleh pada kami. Apapunlah itu. Yang jelas, malam ini kami ingin memanjakan diri dengan melihat tontonan budaya yang digarap secara modern. 


Malioboro di Bawah Purnama

Full Moon Malioboro ke empat,
Demikian yang terbaca dalam brosur fotokopian yang senantiasa kami pegang selama perjalanan menuju Malioboro.

Sapi berwarna putih teronggok di antara jalan yang menghubungkan Sarkem dan Malioboro. Tulisan yang sama dalam brosur berbaris di badannya. Dan beberapa orang asik mengobrol di samping sang sapi.

Melenggang di wilayah Malioboro. Pukul 11 malam tepatnya. Kanan kiri jalan telah sepi, hening. Kami mencari sesuatu yang meriah malam ini. Tak satu jua keramaian menarik pandangan, namun ketika melewati salah satu toko sandal bermerek yang telah tertutup rolling doornya, kami melihat beberapa orang menyusun alat musik. Jimbe, jimbe, jimbe, dan drum. Sebagian membawa harmonika dan terumpet. Ada juga yang membawa seruling. Mereka berpenampilan apa adanya. Ada yang tak berbaju. Bagaikan gembel yang akan naik ke panggung.

Perpisahan

Udara malam mulai menyusup lewat sela-sela diantara kulit dan rambutku. Sudah lima belas menit kami duduk di bangku ini. Aku hanya bergumam, merasa resah. Tapi takkan ada guna aku mendebat dia... Kuajak dia bicara perlahan-lahan. Kulirihkan suaraku, seperti berbisik. Adalah hanya kepadanya aku dapat mengungkapkan derita dan inginku. 

Lalu aku bercerita, tentang masa kecilku, tentang kebencianku pada sekolah dan kedua kakakku yang lelaki. Tentang remajaku dulu, tentang lelaki dan mantan-mantan kekasihku. Mungkin bukan kekasih, aku tak pernah merasa punya seorang pun kekasih, bahkan hingga kini... Hanya beberapa pemuja, tepatnya. Meski begitu, saat ini sudah ada seseorang yang sangat memuja diriku, mengelukanku, menyayangiku dan ingin memperistriku tanpa tahu bahwa aku tidak mencintainya.



Sita Sarit • 2018-2019