Lelaki Berambut Sebahu Itu


Aku mencoba untuk menghilangkan penat. Berkumpul dengan beberapa teman wanitaku. Kami menerjang gerimis malam ini, mencari celah dalam padatnya lelintas mesin yang menderu. Tak berapa lama kami tiba di sebuah pendopo wangi yang temaram. Karta Pustaka orang menyebutnya. Bercahaya warna kuning dengan lantai mengkilap keemasan. Beberapa lelaki tua mempersilahkan untuk masuk dan duduk di barisan kursi terdepan. Sesaat kami terhenyak ketika melihat para tamu membawa kartu undangan. Manis. Kami tamu yang tak diundang. Kadang kami merasa harus senantiasa merasa lepas dengan keadaan seperti ini. Aku sendiri mencoba untuk tetap tenang. Luapan kebingungan padam seketika tatkala kami melihat guru tari kami menyambut tamu yang lain. Kami serentak berteriak. Tidak keras namun cukup untuk membuat beberapa tamu undangan menoleh pada kami. Apapunlah itu. Yang jelas, malam ini kami ingin memanjakan diri dengan melihat tontonan budaya yang digarap secara modern. 



Aku merasa gelisah. Tak terbiasa dengan para orang tua yang berceloteh. Namun mataku berkeliling dan menemukan dia di sudut sana, di sudut mana. Ah! Aku tak hapal arah mata angin. Dia. Lelaki. Dia yang berambut sebahu terurai. Aku menatap tak henti. Mengikuti ke arah mana dia berpindah. Dia telah mengingatkan aku pada seseorang. Seorang dari masa lalu. 

Beberapa penabuh mulai memasuki pendapa, memainkan gending yang lembut dan mengagumkan. Yah, sangat mengagumkan. Empat wanita datang dengan langkah gemulai, anggun, menebar kekaguman. Membuatku jatuh cinta. Aku merasa malu dengan diriku yang datang dengan baju seadanya. Sejenak aku melupakan dia yang berambut sebahu. Aku melupakannya. Sejenak. Aku benar-benar menikmati tarian serimpi nan cantik ini. Aku selalu memimpikan bahwa kelak aku bisa seperti mereka. Berpentas di atas pendopo licin dengan puluhan mata memandang. Mengagumi keluwesanku. Ahh... hanya sebuah impian. Impian seorang penari amatir. Karena aku juga menari, satu jenis tarian yang cukup istimewa bagiku. Seperti halnya petikan namaku. Sari Kusuma tajuknya. 


Cukup lama aku menikmati malam ini, tentunya sambil melihat arloji. Aku tak mau malam ini kacau ketika aku kembali ke asrama dengan gerbang yang sudah terkunci rapat. Dia yang berambut sebahu juga semakin sibuk. Dengan pekerjaanya. Merangkai cahaya. Walau dia telah menjadi cahaya di benakku. Sayang kami tak sempat bertatap mata lebih lama. Kuharap dia ingat padaku. Wajahku. Namun dia punya sebuah tanggung jawab malam ini. Dan aku punya hak malam ini. Menikmati karya seni. 


Aku, mengingat masa lalu. Malam-malam yang lalu. Seperti malam ini.


Jogja, 30 Des 2006

Sita Sarit • 2018-2019