Fête : Feast : Pesta

Valentino Febri - Joyfully - 90x150xm - oil on canvas - 2015

Pilihan kata Pesta yang menjadi padanan Fête : Feast, selain karena iramanya yang menarik, mengacu pada peristiwa perayaan suatu momen yang aktivitasnya memunculkan emosi suka ria dan bahagia. Meski demikian, tidak sedikit acara perayaan yang justru membuat tamunya merasa trenyuh dan syahdu ketika mengikutinya. Perayaan-perayaan yang menuntut rasa haru atau riang akan berbeda di setiap tempat, sebab makna sebuah momentum bagi tiap-tiap kelompok sosial bahkan individu dapat sangat berbeda. 

Ketika mengobrol dengan Valentino, ia dengan jujur mengungkapkan bahwa karyanya merupakan refleksi dari pengalaman-pengalaman pribadinya ketika menghadiri berbagai pesta yang diadakan oleh keluarga, selebrasi-selebrasi publik di kota Yogyakarta seperti Sekaten, bahkan perayaan dari momen-momen personal bersama sahabatnya. Melihat karya-karya Valentino di pameran tunggalnya yang ketiga ini — elemen-elemen dekoratif yang meriah dan berwarna-warni, figur-figur manusia dengan interaksi dinamis dan gestur sukacita, perjamuan berlimpah hidangan, peringatan momen-momen kehidupan — membuat pikiran saya tidak bisa lepas dari kata pesta, atau perayaan, tersebut.


Sebagai warga kota Yogyakarta, pastinya kita tak asing dengan berbagai pesta dan perayaan. Masyarakat Jawa, secara tradisi memang dikenal banyak mengadakan selamatan untuk memperingati suatu hal, yaitu suatu upacara makan bersama dengan makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Kodiran, seorang antropolog, menjelaskan bahwa kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup mereka telah diatur dalam alam semesta ini. Sehingga banyak acara selamatan yang kemudian diadakan dan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada gangguan yang terjadi.

Karena banyaknya acara selamatan yang ada di Jawa, Kodiran membagi acara perayaan tradisional Jawa ini secara umum dalam beberapa macam, sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari. Peristiwa tersebut yakni (1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulanan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian; (2) selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi; (3) selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam; dan (4) selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu dan berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti ketika akan perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ruwat), janji sembuh dari sakit (kaul) dan lain sebagainya. Di kampung saya, perayaan-perayaan Jawa seperti ini masih sangat banyak yang melakukan, terkecuali yang menyangkut pertanian, karena kampung saya berada di tengah kota.

Di Indonesia sendiri, yang terdiri atas masyarakat multikultural, selain perayaan tradisional khas daerah yang memang kebanyakan berbentuk perayaan ritual dan spiritual seperti contoh di atas, masih banyak perayaan dan pesta lain yang dapat ditemui. Seperti perayaan-perayaan-perayaan keagamaan, perayaan tahun baru masehi, tahun baru Cina, ataupun perayaan nasional lain seperti peringatan kemerdekaan, peringatan kejadian penting nasional lain, atau peringatan hari lahir pahlawan. Besarnya perayaan sangat terkait dengan pentingnya peristiwa yang diperingati oleh pihak pengada acara. Bisa jadi sebuah perayaan diadakan dengan kenduri besar untuk seluruh warga kampung, mengundang dalang kondang dan pengrawitnya lalu mementaskan lakon wayang semalam suntuk, bergantian dengan hiburan dangdut elekton serta jamuan selama sepekan. 

Namun ketika berbicara tentang pesta modern, kita tidak hanya berbicara tentang perayaan-perayaan besar seperti di atas. Tidak semua perayaan akan menjadi sebuah pesta, dan tidak semua pesta berawal dari sebuah perayaan. Dalam era masyarakat yang semakin konsumtif, dibarengi dengan kecepatan akses pada informasi dan kemudahan pemilikan materi seperti sekarang ini, manusia bisa menghadirkan banyak tamu, kemeriahan dan suasana pesta untuk momen-momen pribadinya sesering dan secepat ia mau. Meskipun itu demi momen yang kecil yang dapat berarti besar baginya, misal peringatan hari lahir, kemenangan atas sebuah kompetisi, perayaan purnatugas atau purnasarjana, atau kadang tidak demi apapun. Sebuah pesta pun bisa terjadi dengan hanya mengundang rekan terdekat dengan sajian delapan potong pizza, minuman bersoda dan beberapa macam makanan ringan sederhana di atas meja makan.

Kajian tentang perayaan, atau pesta itu sendiri sangatlah menarik dan bukanlah merupakan hal yang baru. Gejala pesta-pesta sosial dan seremonial telah sejak lama menjadi obyek penelitian antropologis. Ketika saat ini banyak orang yang mencibir aktivitas pesta yang merupakan pemborosan sumber daya, halangan untuk pembangunan ekonomi dan aksi hedonis semata; sebetulnya perdebatan yang sama telah muncul jauh sebelumnya. Seorang antropolog asli Flores, Hj Daeng pernah juga melakukan kajian pada awal dekade 80'an dengan kasus Pesta Boka Goe, sebuah pesta tradisional Flores yang pada saat itu sudah mulai menghilang.

Dalam tulisannya, Daeng menunjukkan bahwa kecemasan tentang persaingan antara pesta dan usaha-usaha dalam mencegahnya barangkali tidak tepat. Ia mengatakan telah nampak dalam studinya, dan studi-studi sebelumnya bahwa pesta semacam itu memainkan peranan tertentu yang kadang-kadang penting sekali dalam masyarakat yang melaksanakannya. Ia tidak memungkiri bahwa memang persaingan untuk prestise merupakan fungsi dan tujuan dari banyak pesta (tradisional) di Indonesia dan juga di negara-negara lain. Namun ia menekankan untuk mempertanyakan lebih lanjut, di balik itu, nilai-nilai kebudayaan mana saja yang tersembunyi di dalam prestise sosial dalam sebuah pesta.

Misalnya dalam kasus pesta Boka Goe yang ditelitinya di Ngadha, Flores Tengah, menunjukkan secara historis fungsi dari pesta tradisional tersebut adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan status dan prestise sosial masyarakat yang mengadakan. Ia menambahkan, yang lebih penting justru prestise itu dibutuhkan untuk memperkuat dan mengukuhkan hak (klaim) suatu klen pada tanah yang langka dan dipersengketakan. Siapa yang sanggup melangsungkan pesta Boka Goe paling lama, dihadiri paling banyak orang, mengeluarkan paling banyak hewan ternak untuk dikorbankan dan menerima sumbangan material paling banyak dari klen lain, akan dianggap menang dan akan mendapatkan hak atas tanah yang lebih besar. 

Dalam kasus ini, fungsi nyatanya adalah mendorong redistribusi tanah berdasarkan prinsip keadilan, sebab klen pemenang secara langsung telah mendapatkan legitimasi dari klen lain (dukungan sosial) dan juga berhak mendapatkan tanah yang lebih luas (berdasar jumlah anggota klen/distribusi penduduk, serta besarnya populasi ternak piaraan/produktivitas). Sedangkan fungsi terselubungnya, yaitu mendorong redistribusi tanah berdasarkan prinsip human ecology. Mengenai prinsip human ecology ini, pesta kompetitif Boka Goe sebenarnya merupakan sebuah evolusi aktivitas manusia untuk mencegah perang tanding yang lebih riskan dan membahayakan jiwa dalam perebutan kuasa tanah yang disinyalir telah hadir sebelumnya.

Daeng juga memunculkan nama-nama peneliti pesta tradisional lain dari luar negeri yang mendukung analisanya mengenai prinsip human ecology ini. Antara lain Roy Rappaport (1968), yang mengkaji Pesta Babi di New Guinea yang dimaksudkan untuk menguji dan membandingkan kekuatan dari dua kelompok yang bersaingan, tanpa memancing konflik terbuka untuk mencapai distribusi yang sebaik-baiknya dari sumber daya yang ada pada semua orang yang terlibat di dalam sistem tersebut.

Terlepas bahwa kasus yang saya sebutkan di atas merupakan kajian pesta tradisional yang hampir punah, sangat menarik untuk melihat pesta atau perayaan dari sudut pandang lain seperti yang dilakukan oleh Daeng atau Rappaport terdahulu. Nilai-nilai kebudayaan apa yang terselubung dalam persaingan prestise sosial dalam sebuah pesta? Bagaimana kita melihat spirit dari sebuah perayaan kaitannya dengan prinsip human ecology yang lebih kontekstual di jaman sekarang, tentang pesta atau festival yang  barangkali dapat menjadi cara yang lebih menyenangkan untuk redistribusi material dan sumber daya tanpa memancing konflik terbuka?

Sebagai penutup, saya ingin kembalikan mata dan pikiran kepada Anda untuk kembali melihat karya-karya Valentino secara lebih mendalam. Apa yang Anda pribadi pikirkan, emosi apa yang Anda rasakan, dan memori-memori apa yang Anda ingat ketika ketika melihat figur-figur dalam lukisannya sedang berpesta dan merayakan momen-momen penting kehidupan?

Dan untuk Valentino: Selamat berpesta!

Salam, 

Sita Sarit

--
*Ditulis untuk katalog pameran tunggal karya Valentino Febri "Fete" di I AM (Independent Art-space & Management) 3 - 28 Juni 2015.

Referensi:
- Daeng, Drs., HJ., “Pesta, Persaingan dan Konsep Harga Diri pada Beberapa Kelompok Etnis di Flores”, dalam Michael R. Dove (ed.), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi, Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Hal. 287.
- Kodiran, Drs., MA, “Kebudayaan Jawa”, dalam Koentjaraningrat, Prof., Dr., Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002 (cetakan ke-19). Hal. 329.

Sita Sarit • 2018-2019