Globalisasi Budaya Pada Seni Rupa Indonesia

Untuk dapat memahami pergeseran wacana dan material seni rupa di Indonesia, penulis akan menggunakan sudut pandang globalisasi budaya. Menurut Dianne Crane, globalisasi budaya merujuk pada  transmisi dan difusi yang melintasi perbatasan nasional dari berbagai media dan seni, di mana globalisasi budaya dimengerti sebagai fenomena yang kompleks dan beragam tentang budaya global yang bersal dari negara serta wilayah yang berbeda.[2] Crane pun mencoba untuk mengkaji ulang model teoritosasi yang telah sering digunakan untuk menjelaskan mengenai globalisasi. Ia juga mengajukan model yang ia formulasikan sendiri dan mencoba untuk mendiskusikan model-model tersebut, dihubungkan dengan literatur terkini mengenai globalisasi.

Keempat model teoritisasi yang ditawarkan oleh Crane adalah: (1) Imperalisme Kebudayaan, (2) Jaringan/Arus Kebudayaan, (3) Teori Resepsi, dan (4) Strategi Kebijakan Kebudayaan. Model teoritisasi globalisasi pertama yang dimunculkan kembali oleh Crane adalah Teori Imperalisme Budaya, yang muncul di masa 1960-an yang merupakan perpanjangan aliran Marxisme sebagai kritik terhadap budaya kapitalis yang sarat dengan konsumerisme dan komunikasi massa. Teori imperialisme budaya bisa didefinisikan sebagai bentuk dominasi budaya oleh negara yang lebih kuat terhadap negara yang lebih lemah di mana prosesnya berasal dari pusat menuju ke pinggiran (center-periphery). Aktor yang paling berpengaruh dalam model ini yaitu konglomerat media global dan model ini memberikan konsekuensi terdekat yakni homogenisasi budaya karena besarnya dominasi budaya dari aktor yang lebih kuat.

Agung Kurniawan: Kevakuman yang Berujung pada Narasi Baru


KLERK, karya Agung Kurniawan, sumber gambar: indoartnow.com

Semenjak pameran tunggalnya di  tahun 2006, Agung Kurniawan baru mengadakan pameran tunggal kembali di tahun 2011. Agung mengatakan jeda masa itu ia gunakan untuk bekerja dan bersenang-senang, tetap di dunia seni tentu saja. Pada 2007 dan 2008 dia terlibat mengorganisasi festival seni terbesar di Yogyakarta, yaitu Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Sebagai Direktur Artistik, dia bekerja dengan segala jenis kesenian dan segala macam seniman. Keterlibatannya dalam festival besar itu membuka semua kemungkinan media seni dia gunakan dalam kekaryaannya di masa sekarang. 
Selain itu, Agung memenuhi masa vakumnya dengan mengikuti sejumlah aktivitas, pameran bersama dan menjadi representasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya juga merentang ragam dengan skala mulai dari pameran bersama yang diadakan oleh institusi galeri privat lokal, museum dan organisasi seni internasional, simposium budaya hingga biennale.

Sita Sarit • 2018-2019