Abadikan dengan coretan

Dua hari yang lalu, Sita secara sengaja melupakan sebuah pertemuan dengan seorang rekan komunitas, Elanto Wijoyono. Pertemuan dengan Joy itu, panggilan keren Elanto, seharusnya terjadi di siang bolong selepas kondangan pernikahan teman Sita, namun apa daya ternyata tuhan berniat lain.

Hujan mengguyur Jogja seharian. Tak begitu deras sebenarnya, tetapi cukup membuat malas jika harus berbasah-basah ria demi sebuah formulir fotokopian dari Joy. Apalagi waktu itu Sita hanya nebeng naik motor bersama sahabat. Manapula masih terdesak waktu karena harus datang kuliah di kampus Sadhar Mrican tepat pukul dua. Akhirnya niat bertemu Joy harus diundur dengan segera.
Namun niat itu segera terbalaskan ketika datang pesan pendek dari Joy. Joy mengajak bertemu di malam hari di Kotagede, di kediaman Pak Natsir. Wah kebetulan sekali, sudah lebih dari setahun Sita tidak bertemu dengan beliau, mungkin kali ini bisa menjadi malam yang panjang.

Pukul tujuh lebih Sita berangkat dari Terban. Bersama sahabat, Anang Saptoto, melaju ke arah Kotagede. Titik-titik air hujan masih tersisa dari awan yang bergerak beriringan. Sweater bergaris yang Sita pakai ternyata tak cukup untuk menepis dinginya udara yang menyusup ke tubuh.

Selang beberapa waktu, tibalah kami berdua di warung sate kambing sebelah utara pasar Kotagede. Sedikit bertanya kepada orang-orang, ternyata kami telah menemukan gerbang yang tepat menuju Omah Loring Pasar, basecamp Yayasan Kanthil sekaligus tempat nongkrong keseharian Pak Natsir, tepat di samping warung sate tersebut.

Pak Natsir, seorang pemerhati cagar budaya di Kotagede, bersama teman-teman Yayasan Kanthil telah cukup lama bergerak di bidang pelestarian cagar budaya kawasan Kotagede.

Beliau memang dikenal sebagai ’ahlinya’ Kotagede. Bagaimana tidak, sedari kecil beliau bermain dan berpetualang di kawasan kota tua menawan itu. Beliau selain ahli dalam bidangnya, juga ahli dalam berkelakar.

Tak heran, beliau sangat disukai baik kaum tua maupun muda seperti Sita dan kawan-kawan. Ceritanya selalu menarik. Cerkas, masih dibumbui dengan humor segar pula. Bahasa jawa yang dipakai dengan luwes membuat Sita semakin feels like home.

Benar apa yang ada dalam pikiran kami, Pak Natsir mulai pembicaraan dengan humor-humor Jawa-nya yang khas. Meledek satu demi persatu personil yang ada di situ. Sambil mengisi formulir sebagai tujuan utama kedatangan Sita, mendengarkan cerita pak Natsir seperti tiada habisnya.

Joy, yang juga berminat pada pelestarian cagar budaya membuka percakapan tentang renovasi pasar dan masjid Kotagede paska gempa tahun 2006. Percakapan tentang pasar dan masjid kemudian mulai merembet ke pembicaraan Pak Natsir tentang pengalamannya dengan tamu-tamu yang sering mengunjungi Kotagede. Tamu-tamu yang kebanyakan melakukan ziarah ke makam raja-raja Kotagede kala dulu.

Ketika itu Pak Natsir kemudian bercerita tentang seorang tamu yang mengaku sebagai turunan Panembahan Senopati. Beliau bercerita bahwa tamu ‘agung’ yang ditemuinya membawa serombongan anak buah yang bisa dikatakan taat kepada panutannya itu. Tamu itu yang berdiam di Jakarta ternyata mempunyai semacam perguruan dengan murid-murid yang bermacam jenisnya.

Pak Natsir, mengatakan bahwa beliau sendiri juga cukup heran mengapa banyak orang yang kemudian tunduk pada orang yang seakan-akan mengaku mempunyai ilmu serta pengetahuan yang kita saja tidak akan pernah percaya. Benar-benar diluar nalar.

Cerita kemudian berlanjut dengan kisah-kisah pengalaman Pak Natsir yang lain. Pengalaman dengan preman-preman judi ‘lawasan’ (kuno) di Kotagede. Selain itu Pak Natsir juga berbagi pengalaman tentang manusia-manusia berkekuatan ’supranatural’ yang pernah ditemuinya.

Namun yang cukup menggelitik hati adalah, ketika banyaknya pengalaman yang dialami oleh Pak Natsir, tidak satupun yang ditulisnya.

Beliau telah mengaku, satu hal yang cukup disesalinya adalah tidak menulis! Bagaimana tidak, dengan usia yang hampir tengah abad (atau lebih Pak?), beliau tidak pernah menyempatkan diri untuk menuliskan pengalamannya. Sudah tua, akunya.

Bagi Sita, apabila semua ceritanya ditulis rapih dalam satu buku, mungkin akan menjadi biografi yang sempurna dan unik. Bahkan, mungkin bisa menjadi satu buku sebagai buah tangan berkunjung di Kotagede.

Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit Sita kemudian memutuskan untuk pulang.

Setelah menyantap Sate Klathak traktiran Pak Natsir, Sita berpikir, mungkinkah Sita bisa menulis? Agar apa yang telah Sita lalui tak sekedar menjadi buah bibir dan mitos semata khas legenda Jawa. Agar semua memori yang telah lewat menjadi sejarah yang tercatat dengan runut.

Kedatangan Sita di Kotagede ini mungkin menjadi pemicu. Pemicu untuk kembali menulis. Seperti yang dikatakan Mas Kris Budiman sebelumnya, tidak perlu takut untuk salah!

Sita hanya mencoba menuliskan kembali ingatan dan pikiran dalam kepala. Di blog ini.Mulailah menulis, setidaknya dengan sekedar coretan.

“It’s not too late, Pak…”

Sita Sarit • 2018-2019