drawing on bodhi leaf, courtesy of the photographer (not me!) |
Bukan, bukan candi yang saya maksudkan dengan cantik disini. Walaupun memang saya akui candi Borobudur cantiknya bukan main, mempesona, menjerat malah. Namun jeratan candi Borobudur ini saya kira telah melenyapkan kecantikan yang lain, indahnya alam dan hasil budaya yang lebih hidup, yang mengitari, melengkapi poros kemegahan candi itu sendiri.
Memang, sejak diketemukannya reruntuhan candi, kala itu Indonesia masih berada di bawah jajahan Belanda, candi Borobudur sudah menyerap pandangan seluruh masyarakat Indonesia, bahkan juga dunia. Dan hingga kini, begitu dahsyatnya hasil temuan itu, membuat semua pihak berkejar-kejaran mendapatkan keuntungan dari candi Borobudur. Sektor pariwisata tentunya, yang menjadi sumber keuntungan materiil, tak dipungkiri sebagai inti dari semua masalah yang kemudian mengakar di kawasan Borobudur.
Di sisi lain, kawasan Borobudur, tepatnya desa, juga terkena dampaknya. Penggusuran beberapa dusun demi pembangunan taman wisata candi membuat beberapa warga harus dipindahkan tinggal di dusun lain. Kemudian kawasan wisata candi semakin luas saja. Pengunjungnya berjuta-juta tiap tahunnya. Hingga kadang saya merasa kasihan jikalau candi secantik itu harus menanggung beban manusia yang sangat berat, terutama di saat-saat liburan.
Sayangnya, selama ini konsentrasi wisata Borobudur hanya disitu-situ saja. Candi, candi, dan candi. Lalu bagaimana dengan nasib warga di sekitarnya? Bisa dibilang cukup naas. Dalam percakapan dengan warga desa, diketemukan bahwa pembagian keuntungan dari sektor wisata itu tak selalu adil. Walaupun ada sebagian warga yang beruntung terjun ke pengelolaan taman wisata candi tersebut, ada juga yang harus mengais rupiah dari usaha-usaha sektor minor yang kadang terlupakan dan tak terurus, yakni pedagang asong, tukang foto keliling, tukang pijat, dan lain sebagainya. Sedangkan usaha-usaha lain di desa seperti pertanian, usaha kecil rumah tangga, justru semakin tidak diminati. Padahal di desa Borobudur, segala kekhasan alam dapat ditemukan dengan mudahnya begitupun dengan kekayaan hasil budaya manusianya.
Dapat dengan mudah dilihat, pariwisata yang hanya terpusat ke candi membuat orang-orang (baca:turis) hanya mengunjungi borobodur dalam sekelibat mata saja. Datang, tiga jam kunjungan, lalu pulang. Lebih parah lagi, kunjungan tersebut kebanyakan difasilitasi oleh agen-agen wisata dari luar Borobudur, semisal Jogja. Hal ini akan membuat jalur perjalanan yang akan dilalui sang wisatawan tentu saja akan diarahkan ke kota Jogja, dengan fasilitas yang dibawa dari Jogja pula. Souvenir? Beli saja di Malioboro!
Nah. ketidakadilan dan kekurangberuntungan inilah yang membuat (tidak sedikitnya) warga desa yang mengadu. Mereka telah mengadu ke pihak pengelola Candi, serta juga ke pemerintah desa. Namun walaupun upaya-upaya yang tidak mudah telah mereka lakukan, hasilnya tetap nihil. Tidak dapat disalahkan juga karena ada banyak pihak yang berkejar-kejaran mencari nafkah dan lebih tepatnya: kepentingan, uang.
Mendengar keluhan-keluhan ini, teman-teman komunitas Green Map Jogja (Peta Hijau Jogja) mencoba mencari celah, bagaimana unutk setidaknya mengubah budaya pariwisata yang telah tertanam sebegitu lamanya di Borobudur. Komunitas Peta Hijau Jogja mencoba masuk ke warga desa Borobudur melalui workshop-workshop kecil untuk mengenalkan mereka pada lingkungan mereka sendiri, yang nantinya diharapkan dapat mereka gunakan sebagai bekal dalam pengembangan desanya. Sehingga para warga yang sebelumnya memang sudah tahu apa potensi yang ada di desanya, menjadi lebih sadar betapa potensi tersebut dapat digunakan sebagai alternatif wisata diluar candi. Dan ternyata benar, begitu banyak temuan lapangan yang tentunya menarik untuk ditawarkan ke turis dengan metode Wisata Desa.
Betapa unik dan banyaknya temuan tersebut, kemudian digagaslah Peta Hijau Mandala Borobudur. Sebuah peta yang berwacanakan potensi, baik positif maupun negatif di desa Borobudur, yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memahami desa lebih dekat. Saat ini, Peta Hijau Mandala Borobudur masih dalam proses pembuatan dan diharapkan akan segera terbit untuk dapat lebih dimanfaatkan oleh publik. Setidaknya, dengan peta hijau ini, nantinya baik warga desa maupun turis dapat lebih independen dalam menentukan masa depan wisata di desa Borobudur. Tidak lagi terpaku pada candi. Katakanlah candi sebagai poros, dan desa-desa sebagai jeruji-jeruji wisata, seperti yang sebelumnya telah diutarakan oleh Jaringan Kerja Kepariwisataan (Jaker) wilayah Borobudur.