Media Milik Siapa?

the invisible hands, computer art, by me, 2009

Beberapa hari ini aku lagi demen banget membicarakan media. Tentang media Singapura yang menyiarkan berita meninggalnya mahasiswa Nanyang Technological University (NTU) dari Indonesia, David Hartanto Widjaja.

David dikabarkan bunuh diri setelah menikam salah satu dosen di universitas tersebut. Sungguh menyedihkan. Tapi disini aku nggak bicara tentang kisah David. Kalau mau ceritanya lihat referensi di bawah :)

Cuma cross posting dari milist HI 2005, ini mungkin bisa jadi obrolan yang menarik.

Pertanyaan yang diajukan salah satu temanku, Sururi, membuatku ikut berpikir
"apakah media sedang melakukan framing?"


 Menurutku, media di Indonesia (bukan promosi salah satu produk media loh :D ) kadang memang masih surut kebenaran dan banyak tunggangan. Di Singapura, media ditunggangi pemerintah sebagai alat pengontrol informasi. Bedanya, di Indonesia media ditunggangi pencari uang dengan sajian populer yang (mungkin) tidak/kurang populis.

Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya sih, aku sendiri bukan penikmat acara-acara TV yang monoton di Indonesia. Bagiku mendengarkan radio lebih menyenangkan, apalagi beberapa stasiun radio yang menawarkan banyak informasi penting. Dan kalau punya radio AM/SW lebih beruntung lagi karena kadang (samar-samar) bisa mendengarkan siaran dari stasiun berita di luar negeri. Uups, ngelantur..

Nah, balik lagi... Pemerintah Singapura memang sangat terlihat sekali dalam membentuk media. Di sana, campur tangan pemerintah dalam media sudah menjadi rahasia publik.

Namun sejauh yang kuamati, mereka tidak ambil pusing dengan framing seperti itu. Mereka sudah sangat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Budaya metropolis memang sangat kental di sini.

Lagipula singapura hanya seperti kota kecil dengan penduduk yang sangat sedikit. Mereka sudah cukup maju dan berkecukupan. Pemerintah selalu menyediakan apa yang mereka inginkan selama mereka patuh. Jadi, apa salahnya mengikuti arus 'pemerintah'? Toh pemerintah Singapura memberikan jaminan kesejahteraan yang sangat besar bagi rakyatnya.

Aku pernah denger kayak gini, walaupun pemerintah mengontrol media, kalau ada orang yang mengkritik suatu media, mereka langsung membenahinya. Asal kritik itu membangun dan tidak sensitif, pemerintah Singapura dengan senang hati akan menyediakan yang terbaik bagi rakyatnya. not that authoritarian country tho...

Namun untuk isu-isu sensitif, memang dijaga dengan sangat ketat. Pemerintah singapura tidak mau menayangkan tentang citra-citra buruk mereka.

Mungkin hal itu dijaga agar "national building" mereka tidak hancur begitu saja :D 'wondering...'


memberdayakan ekonomi lokal, collage, by me, 2009
Hal yang cukup menggelitik, tentang pandangan kritis Nuraini, salah seorang sahabat di kelas HI terhadap konten-konten yang ditawarkan oleh media.Nura kira-kira bilang seperti ini:
"kita lah yang seharusnya kritis terhadap pemberitaan di media (bukan dengan cara menjudge media macam2)".
Aku bukannya tidak setuju, kita harus tetap mendapat informasi biar "gak terjebak dalam arus pikiran monotonisme". TRUE.

Namun, KITA sungguh beruntung mendapatkan pendidikan yang tinggi, kuliah di universitas beken di jurusan yang keren pula. Kita dengan mudah dapat memilah informasi yang kita dapatkan dari media.

Tapi coba bayangkan berapa ratus, ribu, bahkan mungkin, berapa juta, orang yang tidak seberuntung kita untuk mengenyam pendidikan.

Kalau inget salah satu iklan jaman dulu, *membaca saja sulit...* Hmm.. mungkin kita harus sedikit memikirkan nasib mereka.

Bagi mereka, TV adalah salah satu hiburan dalam hidup yang itu-itu saja. Jadi tidak heran juga mereka tidak bisa sekolah tapi tetap bisa menyaksikan acara-acara di TV.

Lalu, apakah mereka mengenal monotonisme di siaran TV? Apakah mereka mempunyai pilihan untuk mengganti channel dan informasi yang tersiar? Anda yang tahu jawabnya :D

Sebenarnya beberapa pihak (kawan-kawan dari LSM) sudah sangat aware dengan hal-hal seperti ini. Misalkan dengan menawarkan media lain untuk memberikan informasi kepada kaum yang membutuhkan. Misal, radio komunitas, atau TV komunitas (TV2 lokal misalnya, asal ga ditunggangi ajah :p ), atau rekan2 dari video komunitas.

Mereka selalu menyiarkan informasi "dari, oleh dan untuk masyarakat" sounds interesting :) dan berusaha untuk benar-benar menjaga kearifan lokal masyarakat setempat. Yah,, walaupun akhirnya kualitas dan informasinya hanya segitu2 aja. Tahu sendiri kapasitas rakyat Indonesia.

Memang hal ini tidak menjawab pertanyaan Sururi tentang apa yang bisa kita lakukan. Karena memang, untuk dapat memasuki media nasional saja sulit, apalagi untuk membenahinya? Dan kupikir ini bisa menjadi langkah yang sangat bagus. Daripada memblokir atau mengutuk media, mengapa tidak membentuk media sendiri? Dengan begitu kita dapat membuat pilihan-pilihan lain bagi mereka.

Lalu tugas kita sebagai pelajar? tugas kita ya belajar,, Sukur-sukur kalau punya waktu lebih bisa meluangkan waktu membantu memfasilitasi kegiatan semacam itu. Belajar, selesaikan skripsi, lulus, bekerja, trus mengubah dunia. Hmm.. so dreamy maybe :) But at least, obrolan-obrolan kayak gini yang bisa bikin kita menjadi lebih terbuka membaca dunia bukan?
P.S. Aku cuma berharap pikiran-pikiran idealis kayak gini tidak berhenti di bangku kuliah saja.
referensi kisah David:
http://www.channelnewsasia.com/stories/singaporelocalnews/view/412478/1/.html
http://www.sgpolitics.net/?tag=david-hartanto-widjaja
http://www.straitstimes.com/STI/STIMEDIA/pdf/20090302/Police%20News%20Release%20-%20Stabbing%20incident%20at%20NTU.pdf

Sita Sarit • 2018-2019