Untuk dapat memahami pergeseran wacana dan material seni rupa di Indonesia, penulis akan menggunakan sudut pandang globalisasi budaya. Menurut Dianne Crane, globalisasi budaya merujuk pada transmisi dan difusi yang melintasi perbatasan nasional dari berbagai media dan seni, di mana globalisasi budaya dimengerti sebagai fenomena yang kompleks dan beragam tentang budaya global yang bersal dari negara serta wilayah yang berbeda.[2] Crane pun mencoba untuk mengkaji ulang model teoritosasi yang telah sering digunakan untuk menjelaskan mengenai globalisasi. Ia juga mengajukan model yang ia formulasikan sendiri dan mencoba untuk mendiskusikan model-model tersebut, dihubungkan dengan literatur terkini mengenai globalisasi.
Keempat model teoritisasi yang ditawarkan oleh Crane adalah: (1) Imperalisme Kebudayaan, (2) Jaringan/Arus Kebudayaan, (3) Teori Resepsi, dan (4) Strategi Kebijakan Kebudayaan. Model teoritisasi globalisasi pertama yang dimunculkan kembali oleh Crane adalah Teori Imperalisme Budaya, yang muncul di masa 1960-an yang merupakan perpanjangan aliran Marxisme sebagai kritik terhadap budaya kapitalis yang sarat dengan konsumerisme dan komunikasi massa. Teori imperialisme budaya bisa didefinisikan sebagai bentuk dominasi budaya oleh negara yang lebih kuat terhadap negara yang lebih lemah di mana prosesnya berasal dari pusat menuju ke pinggiran (center-periphery). Aktor yang paling berpengaruh dalam model ini yaitu konglomerat media global dan model ini memberikan konsekuensi terdekat yakni homogenisasi budaya karena besarnya dominasi budaya dari aktor yang lebih kuat.