KLERK, karya Agung Kurniawan, sumber gambar: indoartnow.com |
Semenjak pameran tunggalnya di tahun 2006, Agung Kurniawan baru mengadakan pameran tunggal kembali di tahun 2011. Agung mengatakan jeda masa itu ia gunakan untuk bekerja dan bersenang-senang, tetap di dunia seni tentu saja. Pada 2007 dan 2008 dia terlibat mengorganisasi festival seni terbesar di Yogyakarta, yaitu Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Sebagai Direktur Artistik, dia bekerja dengan segala jenis kesenian dan segala macam seniman. Keterlibatannya dalam festival besar itu membuka semua kemungkinan media seni dia gunakan dalam kekaryaannya di masa sekarang.
Selain itu, Agung memenuhi masa vakumnya dengan mengikuti sejumlah aktivitas, pameran bersama dan menjadi representasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kegiatan-kegiatan yang dilakukannya juga merentang ragam dengan skala mulai dari pameran bersama yang diadakan oleh institusi galeri privat lokal, museum dan organisasi seni internasional, simposium budaya hingga biennale.
Dalam berbagai aktivitasnya tersebut, Agung tidak hanya menjadi representasi perupa untuk pameran, namun juga dalam simposium dan perjalanan seni seperti “The Making of the New Silk Roads” di Bangkok dan Grant Orientation Trip 2009 ke Amerika Latin. Ia juga diundang untuk sebagai kurator proyek seni “Focus on Indonesia” di Turin, dan menghadiri “Cultural Stakeholders Meeting Asia”, di Bangalore untuk posisinya yang lain yakni sebagai perwakilan dari Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Sebagai perupa, Agung mengikuti pameran bersama “Be(com)ing Dutch: The Dutch Day Dreaming” di Van Abbe Museum, Belanda di tahun 2008, dan di tahun setelahnya kembali lagi ke negara tulip tersebut untuk pameran “Beyond the Dutch” di Centraal Museum Utrecht.
Pada Biennale Jogja X di tahun 2009, ia menginisiasi sebuah proyek performans bertajuk “One Minute Mute”. Dalam proyek yang bertempak di titik 0-km, pusat kota Yogyakarta, ia menggali kemungkinan untuk berinteraksi dengan publik umum dan menjadikan mereka sebagai partisipan pertunjukan. Model seni pertunjukkan yang bersifat interaktif macam ini, begitu juga konsep karya yang mengungkapkan kegelisahannya pada ruang publik dan politik perkotaan, menjadi latar belakang yang memadai bagi kecenderungan karya-karya performans serta aksi-aksi politisnya di masa setelahnya.
Pada masa tenggangnya, terutama pada tahun 2009 hingga 2010, Agung juga mencoba untuk terus melakukan eksplorasidan mengolah karyanya yang berbasis pada gambar dan konstruksi memori. Beberapa seri teralis dikerjakan menggunakan kerangka-kerangka besi yang dilas, membentuk figur-figur dari dokumentasi foto di masa lalu dan ingatannya. Figur-figur yang kemudian digantungnya di tembok memunculkan bayangan yang jatuh di sisi belakang teralis ketika terkena cahaya, dan gabungan antara garis tegas teralis besi serta garis samar dari bayang-bayang menggambarkan konstruksi yang melebur, antara citra dari kisah nyata dan fiksi, sejarah dan kenangan.
Agung membuat banyak seri karya yang menggunakan medium teralis tersebut. Salah satu rangkaian karyanya “Seri Orang Kalah” (2010) atau “Loser Series” dipamerkan dalam pameran tunggalnya “The Lines That Remind Me of You” di Kendra Gallery, Bali pada tahun 2011, mengangkat tema akan kenangan masa lalu yang samar, tentang ingatan yang menjadi jembatan antara masa kini dan lalu. Dalam pameran tunggalnya tersebut, Agung tidak hanya menampilkan teralis, yang menjadi medium karya yang kemudian identik dengannya, namun juga segenap karya gambarnya seperti cat air dan pastel di atas kertas. Pameran tunggalnya tersebut seakan membawa babak baru yang juga menandai identitasnya yang baru.
Gambar yang Melebar
Karya teralis Agung Kurniawan. Kiri atas: I am Ready for You, Babe. Kanan bawah: Dendam Membara pada Lelaki Durjana. (sumber gambar: indoartnow.com) |
Agung mengungkapkan bahwa memang teralis bagaikan istri ke-dua bagi Agung, menambahi gambar sebagai istri pertamanya. Mengenai pilihan mediumnya ini, Agung mengakui bahwa ketika bekerja dengan teralis, ia harus berpikir logis dengan merencanakan segala konsepnya yang secara utuh terkait dengan material dan tema. Sedangkan dengan gambar, terutama di atas kertas, ia bebas menginterpretasikan foto-foto temuan yang lalu dengan metafor gambar yang kadang-kadang menghadirkan elemen visual dengan sendirinya, tanpa perencanaan yang khusus.
Medium gambar yang kadang bisa bersifat otomat dan tanpa perencanaan khusus juga kemudian menjadi inspirasi baginya ketika diundang menguratori proyek seni Pause: Automatic Drawing Simple and Dangerous, di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, pada tahun 2011. Dalam pameran yang juga mengundang beberapa seniman muda, dan anak-anak itu, Agung mengeluarkan karya terbarunya, yakni tiga mesin gambar otomat yang dijuduli dengan tiga nama seniman dari tiga jaman yang berbeda. Mesin-mesin yang berbentuk menyerupai laba-laba tersebut dikonstruksi dengan bahan besi, tingginya hampir sepinggul manusia dewasa, dan dirantai pada sebuah tambatan, dan diberi amunisi kapur yang berwarna-warni untuk kemudian dibiarkan bergerak sendiri, membentuk gambar-gambar berpola tertentu di atas lantai. Mesin gambar kemudian menjadi medium penengah bagi Agung dalam melihat seni kontemporer pada saat itu, yang menawarkan pendekatan menggambar yang berbeda, dengan benang merah: kritisisme, catatan mental dan bekas-bekas spontanitas.
Di tahun-tahun reflektifnya (2009-2011), Agung juga mengekplorasi bentuk-bentuk karya gambar pada bidang-bidang yang baru, dan memperdalam pengalaman menonton karyanya dengan mengkolaborasikan performans ketika mempertunjukan karyanya. Salah satu karya gambarnya yang juga dikombinasikan dengan performans adalah karya Adidas Tragedy yang pernah dipamerkannya di pameran ‘Grafis Hari Ini’ di Bentara Budaya Yogyakarta pada tahun 2008, dan aktualisasikan kembali dan dikembangkan dalam bentuk performance dalam pameran The Mental Archive di Cemeti pada tahun 2010 dan diboyong ke Gwangju Biennale 2012.
Pada karya berserinya tersebut, Agung menggunakan sepatu bermerek Adidas sekedar sebagai media untuk mengekspresikan isu sejarah melalui benda keseharian. Agung menggunakan Adidas City Series sebagaimana asalnya, yakni sepatu yang bertema kota-kota di dunia, namun ia mengubahnya secara jenius dengan menampilkan seri kota-kota yang berlatar belakang kasus konflik dan tragedi kemanusiaan di dunia. Seri kota Agung seperti Cairo 2011, Beijing 1989, Boyolali 1967, Cambodia 1975, dan Gwangju 1980.
Agung ingin menarik kembali memori penonton tentang peristiwa-peristiwa itu dengan silkscreen di atas sepatu, dan juga gambaran visualnya yang khas atas tragedi tersebut di permukaan kotak sepatu yang dipajang seperti halnya etalase di toko. Penggunaan sepatu yang berjenis casual dilakukannya untuk menarik penonton terlebih generasi muda yang lupa dan awam atas tragedi tersebut. Dalam performance-nya, Agung mengajak tamu untuk menjadi berpartisipasi dalam proses mengingat tersebut dengan diperkenankan mencoba sepatu yang di dalamnya telah disisipkan batu kerikil sehingga bila dipakai akan mengganjal. Agung mengumpamakan ganjalan tersebut bak rasa sakit yang muncul akibat peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi, terutama sebelum diusut secara tuntas.
Seri sepatu Adidas Agung, bersamaan karya mesin gambar otomat dan seri teralisnya yang lebih baru kemudian ia tampilkan secara arbitrer maupun holistis pada pameran-pameran bersama yang ia ikuti dan pameran tunggalnya di dalam dan luar negeri, yakni “Actus Contritionis” di Umahseni, Jakarta, pada 2012, juga “Milik Nggendong Lali” di Singapura pada tahun 2013 yang menonjolkan tema mengenai identitas budaya dan politik masyarakat Jawa.
Performa Otomat
Pergeseran medium dari gambar ke performans dalam karya Agung, meskipun telah terasa semenjak tahun 2009, semakin berkembang sejalan dengan perkembangan narasi karyanya. Kegiatan performatif Agung juga tidak selazim karya-karya seniman performans lainnya, namun selalu melibatkan hampir seluruh penonton karyanya untuk terlibat secara aktif, maupun bila menghendaki, pasif. Karya performans agung menjadi otomat, mesin yang dapat bergerak dan bekerja sendiri, ketika penonton kadang tidak sadar telah terlibat dan menjadi bagian dari karyanya hingga dapat merasakan tema dan tawaran Agung secara lebih mendalam.
Salah satu karya performansnya digarap tahun 2013, ketika diundang menjadi seniman dari pameran Jogja Biennale XII di Yogyakarta. Karya berjudul “Masya Allah Transgenic” menghadirkan sebuah aktivitas menyerupai kenduren, lengkap dengan masakan nasi kuning lengkap yang ditata berbentuk peta wilayah Indonesia di atas meja berwarna biru. Agung juga mengundang dua aktor, untuk mengendong boneka berpeci dan membaca sebuah gubahan pidato Sukarno tahun 1952 mengenai kemandirian pangan di depan peta nasi kuning tersebut. Agung juga menyelipkan sebuah proses mistifikasi dalam karyanya saat sang aktor diminta membaca-lagukan pidato dengan gaya pembacaan doa ala pengajian islami dan liturgi gereja; seluruh penonton juga diminta untuk membaca bersama-sama sebagian dari naskah, dan mengamini pidato sang aktor di beberapa bagian.
Isu utama yang ditawarkan Agung dalam karya tersebut tidak lain mengenai masalah keberdayaan pangan Indonesia yang lemah: ancaman akan bahaya kelaparan dan kenaikan harga bahan pokok, yang merupakan imbas dari ketidakbecusan penanganan sumber daya pangan. Agung mengakhiri performansnya dengan mengundang seluruh hadirin untuk menikmati sajian nasi kuning bersama-sama layaknya dalam kenduren, dan sedikit demi sedikit nasi kuning tersebut diambil dari meja, semakin terlihat gambar berpola peta indonesia di bawahnya, yang di masing-masing pulaunya tertera nama-nama dari perusahaan besar yang disinyalir terlibat dalam ketidakbecusan sistem penanganan sumber daya di Indonesia. Karya ini menjadi sebuah pernyataan sekaligus propaganda dari Agung untuk menimbang kembali produk-produk pangan dan non-pangan yang kita gunakan, merunut muasalnya, dan imbas yang terjadi karenanya.
MASYA ALLAH TRANSGENIK. Sumber gambar: Biennale Jogja XII
|
Peristiwa partisipatoris memang menarik karena kehadiran bahkan keterlibatan fisik dari penonton dalam karya akan memberikan sensasi tersendiri untuk menerima dan memaknai karya Agung dengan cara yang berbeda, layaknya sebuah pertunjukkan teater. Pada Mei 2015, Agung kembali menggunakan modus ini untuk menyampaikan karya barunya yang mencoba menghadirkan projek gladi resik atas gladi resik peristiwa kematiannya yang berjudul “Proyek Peristiwa Teater: Hanya Kematian yang Setia Menunggu” di Auditorium IFI Yogyakarta. Dalam karya teaternya ini, Agung Kurniawan menyilakan hadirin pertunjukannya untuk mengubah perspektif tentang ketakutan dan kesedihan akan kematian serta kehilangan: menghadapi kematian dengan cara yang wajar, akrab layaknya peristiwa harian yang dihadapi manusia.
Di pertunjukan tersebut, ia juga mengundang penampil lain untuk mendukung aksinya, dari penyanyi cum keyboardist, sastrawan, sutradara, hingga perupa dan fotografer yang semuanya melagukan atau mempersembahkan kidung dan narasi tentang peristiwa kematian tersebut, layaknya rekuiem bagi Agung. Dalam teater ini, Agung mengarahkan para penonton untuk ikut membaca lirik dalam liturgi tersebut yang terdapat dalam buku berhimpun yang dibagikan, setelah dibacakan oleh beberapa performer utama. Dan diakhir pertunjukan, Agung memberikan 47 sketsa aslinya kepada para penonton secara acak. Sketsa aslinya tersebut merupakan beberapa citra awal atas seri karya teralisnya yang terbaru.
Apa yang dilakukan Agung dalam pertunjukkannya tersebut menghadirkan getaran pilu, namun dengan sebuah kejanggalan karena sengaja dipertunjukkan untuk memunculkan perasaan-perasaan tersebut yang biasanya muncul secara tidak sadar ketika mendapatkan kabar kematian atau mengikuti proses pemakaman relasi. Namun peristiwa ini juga menawarkan sebuah antisipasi emosi, dan sudut pandang baru akan prosesi kematian, yang dapat dipinjam dan diulangi oleh para penonton di kemudian hari.
Karya pertunjukan Agung Kurniawan yang paling baru, baru diselenggarakan pada Jakarta Biennale 2015 yang lalu di kota Jakarta, mengangkat tema mengenai fenomena moralitas dan seksualitas yang sedang berkembang di masyarakat. Karya yang diberi judul “Pelacur-pelacur Kota (Kecabulan Sebagai Pelumas Demokrasi)” masih memperlihatkan gaya partisipatoris yang juga intertekstual. Sebagai bagian dari karya, Agung meminjam puisi Rendra ‘Bersatulah Para Pelacur Kota Jakarta’, yang dianggapkan cermat namun secara getir membaca situasi seksualitas dan sosial Jakarta di tahun 60-70’an dan kini menemukan kembali posisinya.
Apa yang dilakukan Agung, dari perubahan format dan cara pandangnya atas medium, baik gambar maupun performans dan pergerakan temanya dari waktu ke waktu: kekerasan – sejarah – konstruksi ingatan, terlihat linear, namun tanpa disadari bahwa pergeseran ini tentunya juga diakibatkan oleh idenya akan pentingnya partisipasi publik baik dalam peristiwa sehari-hari maupun peristiwa artistik di saat ini. Agung yang sadar akan tema-tema karyanya yang cenderung mengangkat konteks sosial dan politis, tidak canggung untuk terlibat aktif dalam perayaan demokrasi di masyarakat secara langsung. Sebut saja sebuah projek yang diinisiasinya sebelumnya, “Festival Seni Mencari Haryadi”, di mana ia menggunakan media seni justru untuk menjadi saluran tampungan kritik warga kepada walikota Yogyakarta. Bentuk aktivitas politis yang artistik semacam ini justru menimbulkan dorongan yang positif, dan baginya, akan mencegah situasi yang destruktif, serta tidak semata-mata menjadi kemarahan atas ketidakpuasan yang mumuncak dan dapat menjadi pencapaian artistik milik bersama.
Sita Sarit
* Tulisan ini merupakan rangkaian dari beberapa artikel pendek yang dibuat untuk Kedai Kebun Forum, dan diedit oleh Yustina Neni. Pertama kali diunggah untuk http://kedaikebun.com/aktivitas-agung/ pada 2 Juni 2016.
Agung Kurniawan dalam sebuah wawancara. (sumber gambar: indoartnow.com,youtube.com )
|