Image Courtesy of IAM Project
|
Prelude
“Come as you are, as you were, as I want you to be. As a friend, as a friend, as an old enemy. Take your time, hurry up, the choice is yours, don't be late. Take a rest, as a friend, as an old memoria.”
Sepenggal lirik lagu dari Nirvana
berjudulkan Come As You Are di atas
mungkin tidak asing bagi angkatan 80, dan 90’an. Lagu tersebut dirilis tahun
1991, dan saya sendiri mendengarnya pertama kali di awal 2000an dalam versi
album MTV Unplugged yang dipunyai kakak saya. Berselang waktu, di tahun 2011, lagu
itu dinyanyikan ulang dengan apik oleh Yuna Zarai, vokalis pop indie dari
Malaysia yang sedang naik daun dan digemari oleh anak-anak muda kekinian gara-gara
duetnya dengan Pharrell Williams dan produk fashion muslimnya.
Lagu dari album Nevermind milik Nirvana
yang dikatakan mengubah habis-habisan posisi industri musik mainstream dunia di
awal 90’an itu, detik ini mungkin sedang berada di daftar putar ponsel pintar
milik para hipster di bilangan Babarsari, atau di Pasar Santa. Transformasi
lagu yang merentang waktu selama 20 tahun, dari Kurt Cobain ke Yuna, juga
secara langsung memperlihatkan transisi idola dan tren yang berulang, berganti,
berputar, dan berlangsung terus-menerus.
Baik Nirvana, dengan Cobain
sebagai leadnya, dan Yuna, menjadi kegemaran
remaja pada eranya, meskipun dengan karya dan gaya yang berbeda. Sebagai idol,
keduanya dipuja-puja bagai Si Pencipta, orisinalitas dan kebaruan dirinya
adalah inspirasi untuk berkarya bahkan jadi panduan hidup, sekaligus dicaci
maki bagi yang tidak menyukainya. Sebagai ikon, mereka menjadi representasi, penggambaran
dari nilai-nilai yang sesungguhnya ingin dimiliki atau disalin oleh
penggemarnya, baik nilai yang didapat dari tingkah laku si idola atau dari
pemikiran si idola lewat karyanya.
Angela Berlis dalam Willem van Asselt
mengutip Willem Frijhoff, membedakan idol dan ikon untuk menjelaskan politik
representasi. Idol sesungguhnya hanya ada dalam pikiran si penggemarnya,
fantasi yang merupakan personalitas ideal yang diproyeksikan pada seseorang;
walau tetap ada relasi personal dari idol karena kehadiran idol yang nyata di
kehidupan, sehingga si penggemar dapat menarik energi dari idol. Pengidolan ini
muncul dan tenggelam terkait dengan kelompok kepentingan yang gilir-bergilir,
gelombang fashion dan pergantian tren, serta banyak dipengaruhi media massa dan
bentuk komunikasi lain. Sementara ikon, merupakan penggambaran, simbolisasi
sebuah nilai, kebaikan dan tingkah laku tertentu; gambaran nilai ini yang
kemudian dikenali pada kehidupan nyata seseorang.
Willemien Otten dalam Asselt,
menekankan bahwa dalam ikon dan idol, alegori, simbolisme dan metafor dalam
wacana yang menyertainya adalah yang sesungguhnya penting, sebagai potensi yang
mampu menggugah rasa si penggemarnya. Ia menyebutkan problema utama dalam hal
ini, yakni penggunaan gambar, kerja sama ikonis, dari mental ke visual dan
gambar material tanpa menjerumuskan ikon menjadi idol. Baik dalam Berlis yang
berupaya merunut politik representasi idola maupun Otten yang menjelaskan
wacana ikonoklasme dalam kristianitas, ketakutan dan intimidasi yang pseudo-ilahiah, dapat menyebabkan
kekaguman dan tabu mengenai setiap penggambaran idol, namun secara kontras juga
menyebabkan peningkatan apresiasi baru terhadap wacana.
Perbincangan mengenai idol, ikon dan
nilai ini sedikit banyak disinggung oleh Sebtian dan Ervance dalam karyanya
yang berwarna pop, meskipun apa yang kami bincangkan waktu itu tidak menyebut
Yuna sama sekali, melainkan tokoh-tokoh ikonik yang lainnya: Guy Fawkes, Nelson
Mandela, dan Andy Warhol si raja panggung pop-art. Obrolan kami mengenai idol
dan ikon kemudian merambah pada obyek non-manusia seperti objek alam dan
binatang ketika Ervance mengusung pendapat bahwa perlu disinyalir nilai-nilai
yang terdapat di diri sang pujaan, bisa jadi juga dikandung oleh
pribadi-pribadi lain bahkan juga benda-benda alam. Yang jadi pertanyaan
sekarang, bagaiamana Sebtian dan Ervance kemudian menggunakan imaji dan teks
untuk menjelaskan perihal idol dan ikon ini?
Idolisasi Ikon, Ikonisasi Idol
Baik Sebtian dan Ervance
menunjukkan karya-karya akrilik di atas kanvas, kebanyakan dalam permainan garis
dan warna tegas nan mencolok, dipengaruhi genre pop-art, low-brow, atau
pop-surealis macam Andy Warhol, Roy Lichtenstein, Frank Stella, Sol Lewitt dan
kawan-kawannya. Gaya-gaya pop tidak bisa tidak menginspirasi Sebtian dan
Ervance karena latar belakang studi desain mereka. Nyatanya, kebanyakan
inisiator gaya pop art dunia memang mempunyai latar belakang dari seni
industrial desain.
Berbeda dengan karya serialnya di
pameran tunggal sebelumnya yang realis dengan goresan pensil dan pena di atas
kertas, Sebtian kali ini menawarkan karya-karya yang lebih bergaya flat,
dibumbui tekstur dan elemen warna dan garis yang kontras namun berpola dan
ditimpa teks dan gambar yang lebih raw
dari pastel. Sebagian besar lukisannya menawarkan imaji figur yang serupa,
yakni figur-figur hibrida yang natural dan mekanis, gabungan antara rangkaian
mesin berknop dan bercerobong, tubuh bagian bawah manusia dan organ jantung
yang saling menyatu. Organ jantung ini juga dipakai dalam pola tekstur transparan
di salah satu karyanya.
Dalam sebuah perbincangan dengan
Sebtian, saya mendapati bahwa kemunculan gambar-gambar mekanis dalam karyanya
dipengaruhi oleh latar belakang sebelumnya yang memang mempelajari bidang
teknik mesin. Di alam bawah sadarnya, onderdil-onderdil mesin selalu muncul dan
digunakan sebagai salah satu preferensi utama untuk membentuk figur-figur yang
telah memenuhi buku sketsanya sejak tahun lalu. Di sisi lain, ada fetisisme tubuh
manusia, terlihat dari lekuk dan gerakan tubuh bagian bawah yang cukup sensual,
serta jantung, memberikan denyut kehidupan yang lebih natural dan hewani pada figur
tersebut.
Figur-figur ciptaan Sebtian ini menjadi
penggambaran imajinatif manusia yang serupa satu sama lainnya, yang telah
menjadi mekanis-industrial dan hewani. Ciri hewani secara natural terdapat
dalam tubuh manusia, namun ciri industrial yang tergambar muncul karena
perkembangan dunia modern yang pelan-pelan mengubah tingkah laku manusia. Di
atas figurnya, tersurat teks dan imaji yang merupakan representasi dari figur
Kurt Cobain dan Andy Warhol. Beberapa diantaranya merupakan judul-judul lagu
dan perkataan Cobain yang banyak mempengaruhi kehidupan Sebtian, terutama juga
dalam hal bermusik. Warna-warna mencolok menggambarkan suasana populer yang
melingkupi kedua tokoh tersebut sebagai superstar.
Dengan menyandang atribut-atribut khusus yang menimpa gambar, dapat menjadikan
figur-figur serupa tersebut sebagai seorang idol atau ikon superstar seperti Warhol atau Cobain.
Satu karyanya yang menarik untuk
disebut yaitu karya hitam-putih, yang berbeda dari karya lainnya. Sebtian
memilih warna yang merupakan oposisi biner ini untuk menggambarkan Cobain yang
sesungguhnya, sosok sederhana yang dihadapkan pada komersialisme pasar yang
hingar bingar. kegemilangan rekaman di pasar yang menjadi alasan label untuk
meningkatkan produktivitas Nirvana justru menjadi tekanan bagi Cobain. Berbagai
konflik dihadapinya hingga akhirnya ia meninggal dengan sebuah tembakan di
kepala. Tekstur tak berwarna yang mendasari gambarnya merupakan penggambaran
perjuangan yang dihadapi Cobain untuk mempertahankan hidupnya, yang tidak
disadari oleh kebanyakan penggemarnya karena ketenaran dan penghambaan seorang
idol justru dapat mengaburkan sisi humanis. Karya Sebtian ini merupakan
representasi sudut pandangnya dalam melihat ikonitas Cobain yang terjerumus
menjadi idol di mata penggemarnya.
Ervance, dengan gaya yang lain,
menawarkan karya pop-surealis yakni representasi realis tubuh atau benda alam
yang di atas pola-pola dasar op-art atau seni ilusi optik di latarnya. Masih
dengan warna-warna yang kontras dan mencolok seperti Sebtian, namun oleh
Ervance warna-warna ini menjadi fungsional untuk membentuk ilusi optik
tersebut. Representasi imaji ikon merupakan poin utama dari apa yang ditawarkan
Ervance; sedangkan latar pola latar belakang menjadi sudut pandang lain untuk
melihatnya, seperti melihat obyek yang tidak sesuai dengan kenyataannya, ilusi
retina semata, dan bisa ditarik pada ilusi kognitif atau persepsi dari si pemirsa
gambar.
Seperti halnya ikon dalam
semiotika Pierce, konsepsi ikon merupakan simbolisasi nilai yang terberi pada
sesuatu, sehingga sesuatu hal tersebut tidaklah khusus pada manusia. Hal ini
mungkin yang mendasari Ervance menempatkan Semut dan Bulan, obyek alamiah non
manusia di karyanya. Semut sendiri merupakan hewan yang bekerja keras sepanjang
musim, tidak pernah menyerah dalam mencari jalan keluar atau pulang ke sarang,
dan merupakan hewan yang hidup berkelompok, saling mendukung untuk membangun
sarangnya, mencari makanan dan mempertahankan diri. Sedangkan bulan, adalah
obyek antariksa yang tidak berpendar sendirinya, namun memantulkan cahaya dari
matahari untuk menerangi bumi di waktu malam. Representasi nilai yang
disimbolkan bulan maupun semut dan dapat disalin manusia ini secara metaforis diusung
Ervance ketika menjelaskan tentang pengidolaan yang tidak harus terbatas pada
manusia.
Ilustrasi Guy Fawkes [kiri], dan topeng yang dipakai kelompok Anonymous [kanan]sumber: http://abcnews.go.com/
|
Representasi manusia yang diusung
Ervance salah satunya adalah Nelson Mandela. Nelson Mandela, presidens pertama
Afrika Selatan, tentunya dapat dikenal dengan mudah dari wajah dan
penampilannya. Mandela dikenal dengan baik sebagai aktivis politik
revolusioner, yang bergerilya untuk mempertahankan gerakan anti-apartheid yang kemudian oleh dunia
dianggap sebagai simbol perdamaian dan kesetaraan ras. Lain halnya dengan
Mandela, Guy Fawkes, yang ditampilkan di karya Ervance sebatas kepala laki-laki
kulit putih, dengan kumis, topi dan kerah a la Eropa di era victorian. Sosok
Fawkes di sini sesungguhnya ditampilkan Ervance sebagai simbolisme dari
kelompok hactivist online Anonymous yang menyebarluaskan paham
anarkisme, protes anti kemapanan dan anti pemerintahan di seluruh dunia lewat
proyeknya Occupy Movement; berganti
waktu simbol ini secara universal digunakan sebagai simbol dari pemberontakan
populer. Adapun versi yang digunakan oleh kelompok Anonymous saat ini adalah
versi minimalis dari topeng Guy Fawkes yang diciptakan ilustrator David Lloyd
untuk novel grafis Alan Moore V for
Vendetta yang mengilustrasikan perlawanan pemerintahan otoriter di Inggris.
Dengan latar belakang a la op-art
berwarna tegas merah dan hitam semakin menekankan kesan dari sifat keberanian
perlawanan, gerakan kuat neo-anarkisme publik, dan sifat misterius dari
kelompok Anonymous yang serupa dengan pergerakan Fawkes pada Gunpowder Plot di Inggris itu sendiri.
Perupa Populer
Apa yang ditampilkan di atas
kanvas oleh Sebtian dan Ervance merupakan sebuah representasi idol dan ikon
yang coba mereka tawarkan, baik secara figuratif-imajinatif ataupun simbolik,
menggunakan tokoh-tokoh yang mempunyai pembeda identitas antara satu sama
lainnya. Namun apa yang ditawarkan oleh mereka, tidak selalu mudah dicerna
karena membutuhkan latar belakang tertentu dalam membangun persepsi yang sama
atas karya tersebut dikarenakan masih minimnya kreasi metaforik yang
ditampilkan. Seseorang yang tidak awas dengan internet ataupun gerakan
neo-anarkisme seperti saya misalnya, mungkin tidak akan dapat mengerti karya
bergambarkan kepala Guy Fawkes dan melihat karya tersebut sebagai karya
representasi idol semata, dengan latar belakang ilusi optis yang dekoratif.
Namun di sisi lain, karya-karya yang memenuhi bidang dengan komposisi elemen
dasar rupa yang komplit, rapi dan terstruktur ini menjadi nyaman dipandang.
Kembali pada lagu—yang hanya saya
ambil bait pertamanya dan cantumkan di awal tulisan ini—kemudian ingin saya
keluarkan dari konteks si penyanyi dan ruangnya, saya terjemahkan dengan bebas
untuk kemudian saya persembahkan pada Sebtian dan Ervance, yang sedang
memamerkan karyanya di tembok putih galeri seni I Am! Lirik ini adalah undangan
untuk Sebtian dan Ervance yang masih malu-malu dan sempat menolak menjajagi
dunia seni rupa dengan berpameran tunggal di galeri, kendati alternatif.
Sebtian dan Ervance yang kesehariannya berperan sebagai desainer paruh waktu
dan organizer acara kawula muda yang populer dan aktif merasa belum
berkeinginan untuk mengukuhkan diri menjadi perupa, meskipun mereka sering
mengikuti pameran bersama bersama para perupa lain. Saya kira Huhum sebagai
rekan komunitasnya tentunya lebih berkompeten untuk menjelaskan tentang hal ini
pada tulisannya yang juga didedikasikan untuk pameran ini. Saya berharap, jika
menjadi seniman adalah jalan yang ditempuh oleh Sebtian dan Ervance, saya ingin
melihat karya-karya mereka yang selanjutnya, tentunya dengan bahasa yang baru,
tema-tema yang lebih dekat dengan kesehariannya, untuk bisa menjelaskan segala
ide yang telah mereka ceritakan kepada saya.
Sita Sarit
Pekerja dan Penulis Seni. Sedang
melanjutkan kuliah di PSPSR UGM.
*tulisan ini merupakan pengantar pameran "Idola Remaja Nyeni" oleh Sebtian dan Ervance HaveFun di IAm Independent Art Space and Management, 19-31 Mei 2016.
Referensi:
- Asselt, Willem J. van, Paul Van Geest, Daniela Muller, Theo Salemink (ed.), 2007, “Iconoclasm and Iconoclash: Struggle for Religious Identity”. Leiden& Boston: Brill.
- Meizel, Katherine, 2011, Idolized: Music, Media, and Identity in American Idol. Bloomington& Indianapolis: Indiana University Press.
- Ramadhan, Choky dalam JakartaBeat.net, 2013. “Nirvana dan Manekin Tanpa Kepala: 20 Tahun In Utero”,diunggah 25 September 2013, diunduh 5 Mei 2016.
- RollingStone.com. “Nirvana Biography”,. diunduh 5
Mei 2016
- Asselt, Willem J. van, Paul Van Geest, Daniela Muller, Theo Salemink (ed.), 2007, “Iconoclasm and Iconoclash: Struggle for Religious Identity”. Leiden& Boston: Brill.
- Meizel, Katherine, 2011, Idolized: Music, Media, and Identity in American Idol. Bloomington& Indianapolis: Indiana University Press.
- Ramadhan, Choky dalam JakartaBeat.net, 2013. “Nirvana dan Manekin Tanpa Kepala: 20 Tahun In Utero”,
- RollingStone.com. “Nirvana Biography”,
Idea brainstorming with artists, writers and the management, Image Courtesy of IAM Project
|
Working process, Image Courtesy of IAM Project
|
Group photos in the opening of artists, writers, management and viewers, Image Courtesy of IAM Project
|
Writers's welcoming note, at the opening, Image Courtesy of IAM Project
|
Exhibition view, Image Courtesy of IAM Project
|
Left to Right: Huhum Hambilly, Sebtian A.S, Ervance, Sita Sarit. Image Courtesy of IAM Project
|
Artists, writers, and management team of I AM PROJECT. Left to right:Nurmala Setya, Sita Sarit, Sebtian, Ervance, Huhum Hambily, Tovic Raharja. Image Courtesy of IAM Project |
After the Exhibition, mural covering. Image Courtesy of IAM Project
|
Image Courtesy of IAM Project
|