Monolog Tembakau

La Perte, digital drawing, 2007
Beberapa malam ini kulakukan satu kebiasaan baru. Kutempelkan ujung rokok menyala merah ke selembar tisu yang terbuka lebar di atas meja. koridor depan kamar asrama. Belum ada satu kalipun kunyalakan sebatang rokok di asrama secara terang-terangan seperti ini. pernah sekali kulakukan di atap tanpa sepengetahuan teman-teman. Tapi sekarang ini menjadi candu bagiku untuk menghisap dan menghembus CO2 dari nyala daun tembakau terbakar ... bahkan di hadapan warga baru sekalipun. Sering sebatang dalam semalam, atau dua ketika sedang suntuk, demam atau terobsesi. 


Tapi malam ini agak berbeda, tisu terbakar hampir seutuhnya, bulatan-bulatan tak jelas melebar dan menghanguskan sisa kertas putih itu. Sangat menyenangkan melihat semburat warna yang melingkar, membordir manis tisu di samping tebaran residu rokok. Warna nyala yang sama dengan nyala bara di malam keakraban. Namun tidak akrab sama sekali malam ini, tiada yang menemani. Kecuali tatapan sinis mata-mata yang melihat asap berputar-putar diatas kepalaku. Yang juga membuat rambutku berbau abu.


Aku tak merasa bimbang sama sekali, kuhisap dalam-dalam karbon sisa pembakaran. Lalu terhembus lewat rongga hidung dan mulut, sejenak lewati urat-urat daun euphorbia. Mereka pasti senang mendapat nutrisi tengah malam. Aku juga senang bisa menghabiskan waktu sendiri. Walau tiada yang menegurku, kutahu teman sekamarku sedang berpikir yang tidak benar tentang diriku. Tapi apa aku tak boleh menikmati kebebasanku bersendiri. Berromantis dengan asap dan jingga percikan api yang melahap tisu. Aku cuma ingin bernostalgia dengan wangi tembakau beraroma kopi hitam. Malam ini.


Sering kubertanya, seperti halnya mereka. Aku menghisap, tiada menganggu. Ini kebebasan, privasi. Tapi bagaimana dengan yang kupikirkan. Monolog-monolog itu? Di dalam kamar. Ketika kesendirianku terbelenggu, riuh suara musik berpadu deru pengeras suara kuno. Dan harddisk yang menderit. Kadang mouse yang meringkik. Di tengah malam, ketika seharusnya kami beristirahat. 


Hidupku dinamis. Namun mereka statis. Ataukah tidak mau mencoba bersikap reformis. Hidup bersama, nona? Pikirkan hal itu. Aku berbicara, kalian menolak. Tak ada kalian bicarakan. Mana komunikasi, mana mufakat? 


Yang terberai dalam peraturan, aku, diam. 

       
JOGJA, 11 Februari 2008

Sita Sarit • 2018-2019