Green Map, salah satu NGO bertaraf internasional pada bulan Juni tahun ini mengadakan pertemuan di Taiwan. Pertemuan tersebut digunakan untuk membahas berbagai proyek pemetaan berbasis ekologi yang telah mereka geluti selama sekitar lima belas tahun. Sebagai NGO non-profit, Green Map mencoba untuk bergerak di bidang lingkungan dengan menyediakan sistem pemetaan yang bersifat terbuka bagi siapa saja. Berpusat di New York, Green Map telah mempublikasikan 280 peta dari berbagai proyek di 51 negara. (Berdasarkan data bulan Maret 2007, Green Map telah melaksanakan 383 proyek di 51 negara. Hasil dari proyek tersebut sebanyak 189 merupakan peta lipat dan sebanyak 81 merupakan peta dengan publikasi berbasis jaringan internet. Sumber: http://www.greenmap.com/news/nindex.html diakses pada 10 Maret 2007.)
Green Map, laiknya NGO lain merupakan hasil dari produk globalisasi yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Seperti yang telah diketahui sebelumnya, adanya globalisasi menyebabkan manusia lebih mudah dalam mengembangkan berbagai nilai baru dalam masyarakat. Nilai baru tersebut kemudian disebarluaskan dan dimultiplikasikan secara besar-besaran. Kemudian timbul satu pandangan yang dapat merefleksikan pengembangan nilai yang dilakukan oleh produk global tersebut: Kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme, menjadi sebuah kecenderungan dalam partisipasi masyarakat global dewasa ini (Held 2000; Kriegman 2007). Kosmopolitanisme telah mengangkat berbagai nilai-nilai dasar menjadi standar baru yang harus ditaati oleh masyarakat global. Akar dari permasalahan nilai dasar tersebut bisa berasal dari individu atau kelompok tertentu, tetapi dampak dari isu yang dikembangkan menjadi sebuah kesadaran dari individu atau kelompok lain untuk berpartisipasi aktif dalam isu tersebut. Berbagai isu telah dikembangkan lewat kosmopolitanisme. Kebutuhan dasar manusia, pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, ekologi dan kemiskinan hanyalah sebagian dari isu-isu yang diangkat ke permukaan
Dalam memandang kosmopolitanisme, nilai-nilai yang diangkat diajukan sebagai sarana dalam peningkatan kualitas hidup, solidaritas manusia serta ketahanan lingkungan. Pemerintah, individu, maupun Non-Governmental Organization atau NGO dapat menjadi agen dalam pengembangan kosmopolitanisme itu sendiri. Sedangkan penerapannya akan sangat tergantung dari penerimaan masyarakat terhadap isu yang diangkat.
Terdapat tujuh prinsip utama yang dibawa oleh kosmopolitanisme (Held 2000). Prinsip yang utama yaitu adanya pandangan akan persamaan nilai dan martabat manusia. Kemudian, prinsip kedua memandang akan pentingnya individu sebagai agen aktif dan bukan hanya penerima proses kosmopolitanisme itu sendiri. Ketiga, akuntabitilas dan tanggung jawab personal. Agen aktif tentunya tak akan berjalan tanpa kesadaran dari masing-masing individu.
Prinsip keempat adalah adanya legitimasi yang dapat berupa konstituen. Konstituen tersebut harusnya juga merupakan hasil dari kesepakatan bersama. Perumusan kebijakan kolektif sebagai manifestasi kesepakatan bersama menjadi prinsip lain dalam kosmopolitanisme. Prinsip keenam menghendaki adanya sentralisasi dan desentralisasi kebijakan secara simultan. Yang terakhir, yaitu penempatan prioritas kepentingan.
Kosmopolitanisme timbul ketika manusia merasa hidup dalam satu wadah yang sama, kemudian saling berbagi nilai yang sama yang manfaatnya dapat dirasakan bersama. Seperti halnya agen kosmopolitanisme lain, Green Map mencoba untuk meyebarluaskan nilai yang telah disepakati bersama. Mereka mencoba untuk meyebarkan ilmu pemetaan berbasis open source dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan lokal di sekitarnya.
Adapun ketujuh prinsip kosmopolitanisme dapat dikatakan terdapat dalam tubuh Green Map.Green Map mengembangkan diri sebagai NGO berbasis komunitas dengan proyek yang bersifat temporal dan terbuka namun rutin. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, bahkan Green Map juga merangkul generasi muda dalam setiap proyeknya. Sukarelawan biasa disebut dengan mapmakers merupakan individu atau kelompok yang ingin memetakan lokasi tempat tinggalnya dengan metode pemetaan yang disediakan oleh Green Map. Agar nilai yang disebarkan oleh Green Map dapat dipahami oleh semua masyarakat maka Green Map menggunakan standarisasi ikon dalam proyek pemetaan mereka.
Prinsip penerapan sentralisasi dan desentralisasi secara simultan juga telah diaplikasikan. Proyek pemetaan dilakukan secara bebas oleh relawan di berbagai negara tanpa campur tangan pusat. Namun proyek harus didaftarkan kepada pusat untuk mendapat keabsahan publikasi. Walaupun pusat membebaskan bentuk dan kegiatan proyek di tiap negara, tetapi tetap dilakukan pengawasan secara terbuka pula. Hal ini dimaksudkan agar setiap proyek dapat benar-benar disesuaikan dengan sumber daya lokal namun tetap merefleksikan nilai yang ada.
Selain itu, Green Map New York juga selalu mengadakan pertemuan tahunan untuk mengkoordinasikan masing-masing relawan di tiap negara. Pertemuan dilakukan untuk membahas hambatan-hambatan yang dilalui oleh relawan dalam mengerjakan proyek mereka. Pertemuan internasional juga digunakan untuk membahas usulan tentang penambahan ikon-ikon baru untuk memperkaya kasanah ilmu pemetaan yang disebarkan oleh Green Map. Dengan metode seperti ini, diharapkan masing-masing relawan dapat mengembangkan potensi diri mereka secara independen dengan tetap diadakan pengawasan dari pusat.
Global Identity, Local Issue
Proyek yang dilakukan di Jogja sebenarnya dilakukan dengan tujuan pengenalan lingkungan cagar budaya yang mulai punah. Pemanfaatan metode pemetaan Green Map dilakukan demi memudahkan kegiatan pelestarian budaya di kota Jogja. Dari segi tema proyek, Green Map cukup membebaskan relawannya sehingga dapat bergerak lebih luas tentunya. Isu-isu lokal dapat lebih dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat lokal.
Greenmapper Jogja bahkan juga membuat proyek diluar pemetaan dua dimensi berbentuk print-out seperti yang dibawa oleh Green Map System. Mereka juga mengembangkan model pemetaan berupa video report, tentu saja dengan memakai ikon sebagai penanda identitas Green Map. Inisiatif baru ini kemudian dibawa ke forum internasional sehingga kemudian membentuk satu divisi tersendiri di bawah payung Green Map. Proyek ini dilakukan sebagai penyesuaian metode yang dirasa lebih cocok dan bermanfaat bagi masyarakat.
Identitas Green Map dibawa lebih karena metode tersebut dianggap sesuai dengan misi yang diangkat oleh masing-masing relawan. Green Map system sendiri memang menyadari hal tersebut sehingga lebih membebaskan anggotanya. Namun Green Map masih melakukan pembatasan pemakaian ikon dengan cara memberlakukan ketentuan pendaftaran proyek dengan biaya penggantian copyright atas ikon yang dipakai. Penarikan biaya ini tidak dipergunakan secara komersial, tetapi untuk menyokong kegiatan-kegiatan bersama seperti biaya akomodasi relawan saat pertemuan rutin serta untuk pembuatan proyek bersama.
Namun sebagai gerakan sipil global yang bersifat sukarela seperti Green Map tidak lepas dari berbagai permasalahan yang amat mendasar. Dari segi keanggotaan, Greenmapper Jogja tidak mempunyai kepengurusan yang terorganisir. Relawan datang silih berganti tergantung kebutuhan dalam membuat proyek pemetaan sehingga dari segi keanggotaan dapat dibilang Greenmapper Jogja sangat sedikit.
Partisipasi masyarakat yang kurang memang sangat berkaitan dengan kesiapan masyarakat dengan kosmopolitanisme. Terlihat dari berbagai proyek yang telah dilakukan oleh Greenmapper Jogja, sebagian besar justru didanai oleh pemerintahan Belanda yang peduli pada kelestarian budaya Jogja. Sedangkan pemerintahan kota sendiri belum banyak berpartisipasi dalam pembuatan proyek ini. Lain halnya di Jepang, kesadaran yang tinggi akan lingkungan dan ekologi membuat pemerintah justru mengajak relawan Green Map di Jepang untuk bekerjasama. Proyek yang dilakukan tentu saja tidak kecil, dan menjadi standar tersendiri pemetaan di Jepang. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dapat terlihat dengan jelas disana karena memang ada kesadaran yang tinggi dalam masyarakat.
Globalization as a Life Experience
Globalisasi saat ini bukan hanya dilihat sebagai proses perubahan masyarakat yang tak terbantahkan. Bukan pula penguasaan perusahaan multinasional dalam ekonomi politik. Bukan hanya kemerdekaan pasar bebas atas perdagangan. Globalisasi dapat dirasakan secara nyata disekitar kita. Dan relawan Green Map dapat memanfaatkan produk globalisasi untuk mengembangkan potensi lokal.
Untuk saat ini Greenmapper Jogja mungkin sedang berada di antara ada dan tiada. Keanggotaan yang silih berganti membuat komunitas ini labil dan tidak punya fondasi untuk berdiri. Sedangkan fondasi tersebut hanya akan didapatkan ketika kesadaran masyarakat untuk peduli pada nilai bersama telah tumbuh. Namun keyakinan untuk berkembang tentu sangat tinggi. Masyarakat akan bergerak maju seiring dengan perubahan waktu dan kesadaran akan lingkungan pun tumbuh ketika lingkungan dirasa sudah tidak kondusif lagi. Sebagai konklusi, Greenmapper Jogja seperti agen kosmopolitanisme yang lain, membutuhkan partisipasi aktif dari individu untuk dapat berkembang luas. Tanpa dukungan dari sumber daya lokal, Green Map System tak mungkin dapat berkembang dengan lebih luas.
Sebagai bagian dari Green Map System, Greenmapper Jogja mewakili relawan untuk pemetaan peta hijau di kota Jogja. Bentuk organisasinya masih berupa komunitas relawan dengan keanggotaan tidak tetap dan bersifat voluntary. Komunitas Greenmapper Jogja sendiri mulai turut bergabung sejak tahun 2000 dan telah melakukan berbagai proyek pemetaan hingga saat ini.
Permasalahan keanggotaan tersebut ternyata sangat berbeda dengan perkembangan jaringan Green Map di negara lain terutama di negara belahan utara. Kesadaran masyarakat Jogja untuk mengikuti dan mengangkat nilai global sepertinya masih minim. Maka dari itulah Greenmapper Jogja sangat sulit berkembang. Masalah inipun menjadi berdampak luas, yaitu dalam penggalangan dana dan tentunya pada kualitas proyek yang dilakukan.
Green Map dapat dikatakan pula sebagai bagian dari practice-globalization. Dari segi praktek, globalisasi diartikan sebagai transformasi kehidupan sosial yang terstruktur melalui pengembangan pengetahuan dan persepsi kolektif serta kehidupan keseharian (Amoore 2001). Hal ini terlihat dalam penggunaan globalisasi sebagai bagian dari kegiatan keseharian relawan. Greenmapper Jogja menggunakan metode global Green Map sebagai sarana yang membantu dalam pelestarian cagar budaya di Jogja.
Referensi:- Amoore, Louise dan Paul Langley, “Experiencing Globalization: Active Teaching and Learning in International Political Economy”, International Studies Perspectives (2001) 2: 15-32
- Clark, John, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Yogya: Tiara Wacana. 1995
- Held, David, “Cosmopolitanism: Taming Globalization”, The Global Transformations Reader, Cambridge: Polity (2000) 514-529
- Kriegman, Orion (Lead Author); Great Transition Initiative (Content Partner); Cutler J. Cleveland (Topic Editor). 2007.
- "Global citizens movement." In: Encyclopedia of Earth. Eds. Cutler J. Cleveland (Washington, D.C.: Environmental Information Coalition, National Council for Science and the Environment). [First published October 31, 2006; Last revised January 28, 2007; Retrieved June 11, 2007].
- Schuurman, Frans J. (ed.), Globalization and development Studies: Chalengges for the 21st century, London:Sage Publication. 2007