Perpisahan

Udara malam mulai menyusup lewat sela-sela diantara kulit dan rambutku. Sudah lima belas menit kami duduk di bangku ini. Aku hanya bergumam, merasa resah. Tapi takkan ada guna aku mendebat dia... Kuajak dia bicara perlahan-lahan. Kulirihkan suaraku, seperti berbisik. Adalah hanya kepadanya aku dapat mengungkapkan derita dan inginku. 

Lalu aku bercerita, tentang masa kecilku, tentang kebencianku pada sekolah dan kedua kakakku yang lelaki. Tentang remajaku dulu, tentang lelaki dan mantan-mantan kekasihku. Mungkin bukan kekasih, aku tak pernah merasa punya seorang pun kekasih, bahkan hingga kini... Hanya beberapa pemuja, tepatnya. Meski begitu, saat ini sudah ada seseorang yang sangat memuja diriku, mengelukanku, menyayangiku dan ingin memperistriku tanpa tahu bahwa aku tidak mencintainya.




Tapi dia tetap diam. Aku hanya bergumam.

Aku kemudian teruskan bercerita tentang kuliahku. Tentang kebahagiaan kanak-kanak yang telah lenyap. Dan kini. Tentang keluh kesahku. Tentang karirku yang terhenti. Tentang kejenuhanku pada tulisan. Hingga sekarang. Detik ini.


Tapi dia tetap diam. 


Lantas dia tolehkan kepalanya. Jauh dari sisiku. Mata hitamnya besar menatap tajam ke arah barat. Kugerakkan juga kepala ini, Agak berat terasa. Kulihat pada sosok lain di seberang tempatku berceloteh. sosok yang berdiri di samping gorden yang tersingkap. di belakang jendela berteralis putih, lantai kedua rumah jingga. 


"Aku tahu dia siapa..." kuisyaratkan dengan jariku yang terangkat beberapa senti, menunjuk pada sosok itu.

      
Dia diam. 

"Kita tak akan bisa bersama" Aku turunkan jariku, pelan.


Dia tetap diam.


"... sekarang aku sudah selesai bercerita, sudah. Kembalilah padanya"


Dia malah menggeram.


"Aku tahu, aku juga akan merindukanmu. Aku akan merindukannya pula, tapi entah apa balasannya. Dan mungkin tahun depan aku akan berkunjung. Menemuimu lagi... Di malam di pergantian musim, dingin, seperti sekarang".       


Dia berdiri cepat, tetap menatapku.

Ujung hidungnya mengendus leherku. Menciumi bau parfum white musk-ku, ingin menciumiku.
"TIDAK!" seruku, "JANGAN PADAKU!" kurentangkan jari-jariku di depan mulutnya. Aku pun berdiri tapi dia malah melengoskan pandangan. Lalu berjalan pelan, menuju rumah jingga. Menuju sosok yang telah menungguinya.
"Sampaikan salamku pula padanya!" teriakku.
Aku pasti juga akan merindukannya.

___


Semalam benar-benar hari terakhir untuk menemuinya. Tentu, kapan lagi aku bisa meluapkan segala kesedihanku, selain pada dirinya. Aku kadang merasa bersalah ketika bercerita dengannya. Tapi paling tidak aku merasa sedikit puas ketika dapat menemuinya. Kadangkala dia tidak mendengarkanku, tidak mengapa bagiku. Dan kadangkala dia begitu antusias mendengarkan celotehku, gembira juga hati ini rasanya. Senang punya satu teman bercerita.


Tapi sekarang tidak lagi. Aku harus mengemasi pakaianku secepat mungkin. Aku harus pergi dari daerah ini. kampung yang telah lama kutinggali untuk kuliah, sambil mencari uang. Kamar kosku yang sempit ini sudah tak mampu untuk kusewa. Aku sedang jatuh, kuliahku tak kunjung selesai, tak jua aku mendapat order menulis untuk tambahan uang jajan. Asaku pupus.


Bercerita dan menulis, menjadi dua hobi yang kugeluti dengan serius. Tapi bukan desas-desus selebritis tentunya. Aku menulis fakta, kadang karya sastra. Seingatku aku tak gemar membaca novel, maupun majalah dan surat kabar. Tapi ketika aku kuliah di bidang yang salah, aku justru mendapatkan berbagai ilham yang ingin kutuangkan dalam media tulis. Dan kebetulan pula menulis menghasilkan banyak uang, tentu saja demi kelancaran studiku nanti. Menulis adalah sebuah pencurahan cerita. Bercerita dan menulis, dua hal yang tak ada bedanya. Imajinasi semata. Tidak buruk.


Namun sekarang aku sedang berhenti menulis, bosan, jengah rasanya. Tidak lagi mendapat inspirasi berkarya seperti biasanya. Aku hanya duduk di depan layar kotak monitor dan melamun. Tiada uang mengalir seperti biasa. Dan kini sudah saatnya untuk beralih haluan. Aku harus mencari kamar sewa yang jauh lebih murah dari sekarang. Tidak lebih bagus tak masalah. Asal layak dan nyaman. Dan bebas dari teriakan. Aku benci keramaian. Benci benar!


Aku telah menetapkan hati untuk pergi, mencari situasi baru. Ada empat hal utama yang mendasari: satu, aku tak punya uang lagi untuk menyewa kamar kos seharga tiga ratus ribu perak perbulan. Kedua, aku bosan tinggal di kamar ini. Ketiga, apabila kumerasa bosan, aku tak bisa menulis dengan tenang. Dan terakhir, aku ingin kembali menulis, lagi. Jadi dapatlah dikerucutkan semua alasanku menjadi satu simpulan: aku perlu pindah tempat untuk dapat mencari uang lagi.


Sebenarnya ada satu alasan lain yang membuatku semakin tidak betah meruang di kamar kosku ini. Aku jatuh cinta. 


Jogja, 11 feb 2008

Sita Sarit • 2018-2019