Desa tanpa Pahlawan

Awan bergumpal-gumpal di atas pohon kenari. Warnanya abu-abu gelap dan tampak berat. Semut-semut pada berlarian dari balik akar-akar kekar pohon, beriring-iringan menyusuri rerumputan menuju anak tangga sekolah. Bangunan terdekat dari pohon kenari. Anak-anak di dalam kelas tiba-tiba terlihat ceria dan mulai berteriak-teriak sembari memandangi balik jendela. Ingin segera pulang dan berlarian di bawah hujan. Semua anak, kecuali Polan.

Polan masih cemberut. Semenjak pagi hari ini Polan cemberut. Sambil menggaruk-garuk tanah dan memandangi hewan-hewan kecil yang berusaha keluar dari tanah, Polan menggerutu sendirian. Sesekali ia melirik ruang-ruang kelas sekolahnya yang tampak dari pohon-pohon kelapa yang menutupi sosok tubuhnya. Ia tahu akan turun hujan dalam waktu yang tidak lama, tapi ia juga tahu kalau ia tidak juga bisa pulang ke rumah Paman sebelum jam sekolah berakhir.


Hari ini adalah hari ke-tiga dalam satu minggu Polan membolos dari sekolah. Sejauh ini Paman belum tahu meski beberapa guru sudah memperingatkan Polan di kelas. 

__

Mungkin besok Bu Nandu akan ke rumah dan memberitahu Paman. Pasti aku akan dimarahi dan disuruh pulang ke desa. Mungkin memang lebih baik aku pulang dan tinggal di desa bersama Mamak juga Aki. Mungkin sekolah bukan untukku. Pikir Polan sambil melirik kembali sekolahnya.

Gerimis turun tergesa-gesa. Seperti tidak sabar gerimis bertambah deras menjadi hujan yang datang bersama tiupan angin yang juga tergesa. Seperti sudah tidak ada waktu lagi untuk menghabiskan isi gumpalan awan-awan gelap di atas kota. Tapi Polan yang sudah basah kepala dan seragamnya tidak jua beranjak. Meringkuk di bawah pohon pisang, di antara pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Ia tidak berani pulang. Tidak berani juga kembali ke pelataran sekolah yang hanya satu lapangan bola jauhnya dari tubuhnya. 


Sedangkan di dalam kelas anak-anak lainnya sedang girang melihat hujan yang datang. Berharap untuk segera bermain-main di bawah hujan di pelataran sekolah.


__


Minggu berikutnya, hari membolos ke-lima, Polan tidak lagi berdiri di balik pohon-pohon kelapa dan pisang di samping lapangan bola. Ia tahu beberapa temannya sudah mulai curiga dan tahu tempat persembunyiannya. Maka lima jam terakhir di hari sekolahnya hari ini ia habiskan di pasar. Sekitar dua puluh menit berjalan kaki dari sekolah, maupun dari rumah Paman. Ia sudah bersumpah kalau gurunya akan datang ke rumah di hari ini. Lantas ia memilih untuk tinggal di pasar hingga matahari turun jauh. 


Mengambil beberapa receh yang terkumpul di celengan gerabahnya pagi tadi, Polan membeli beberapa jenis kue singkong di pasar. Cukup mengenyangkan, setidaknya sampai ia berani pulang ke rumah. 


Paman sudah tahu. Pasti Paman sudah tahu. Pasti bu Guru sudah datang dan Paman sudah tahu. Aku pasti pulang ke desa. Paman, maaf, Polan harus pulang. Ucap Polan berkali-kali dalam hati. 


Seperti dugaan Polan, Paman sudah menunggu di rumah bersama guru sekolahnya. Bukan Bu Nandu seperti yang dipikirkan oleh Polan. Tetapi wali kelasnya, Pak Tegar. Paman tidak habis pikir kenapa anak angkatnya berlaku seperti itu lagi. Bulan lalu ia membolos dua hari. Bulan ini ia justru membolos lima hari. Paman yang sudah beberapa bulan sebelumnya bersusah payah meyakinkan orang tua Polan untuk membawa Polan ke kota merasa sungguh menyesal kali ini.


“Polan memang anak desa yang tidak tahu terima kasih” ungkap Paman kepada guru Tegar di tengah percakapan mereka.


“Mungkin dia rindu desa Pak” balas si wali kelas “...atau mungkin ia kesulitan dalam mengikuti anak-anak lain. Meskipun saya juga ragu karena selama ini nilainya tidak begitu buruk. Bu Nandu pun salah satu guru favorit anak-anak” tambahnya cepat.


“Saya juga heran dengan anak ini. Di rumah dia sangat penurut. Tapi kenapa di sekolah seperti itu. Kalau begitu saya akan bicara padanya secepatnya. Maafkan saya Pak” ucap Paman kembali.


“Tidak apa-apa Pak. Anak-anak memang begitu... Anak-anak desa...” ucap pak Tegar sebelum mengakhiri percakapan mereka. 


Hari sudah cukup petang sebelum Pak Tegar menyeruput teh terakhir kalinya dan mengangkat koper berkulit imitasi dari kursi di sampingnya lalu berpamitan untuk pulang. Jauh sebelum Polan datang ke rumah pamannya.


__


Polan tahu ini hari terakhirnya di kota. Sebab semenjak pak Tegar datang ke rumah, Polan semakin jarang masuk ke kelas Bu Nandu. Dan Paman sudah tidak mau lagi membujuk rayunya untuk meneruskan masuk ke kelas.


Maka Polan berpamitan kepada teman-temannya satu per satu. Di rumah mereka. Polan sudah enggan menginjakkan kaki ke sekolah. Meskipun ia tak melupakan satupun dari 23 temannya, hanya satu guru yang dipamiti Polan hari itu: Pak Tegar.


Ia menyambangi rumah Pak Tegar dan membawa buku-buku yang diberikan kepadanya di awal masuk sekolah itu. Ditemani Paman, Ia berpamitan dan mencium tangan pak Tegar. Polan bilang kalau buku-buku itu bisa diberikan kepada anak lain di kelasnya. Lalu Polan diantar pergi. Polan kembali ke desa.


__


Pak Tegar sudah sering menghadapi anak desa yang tidak terbiasa dengan sekolah dan akhirnya pulang kampung. Seperti Polan. Tapi Pak Tegar tidak tahu, kalau di antara halaman-halaman buku yang dikembalikan Polan tersisip selembar kertas dengan tulisan tangan yang sama sekali jauh dari sempurna. Tulisan itu tulisan tangan Polan, jawaban untuk tugas yang diberikan oleh Bu guru Nandu, guru sejarahnya:


Pahlawan Revolusi


Di desa ada sungai yang lebar dan lahan yang luas. Di desa ada gunung yang tinggi dan pohon yang besar. Di desa ada ikan-ikan, burung dan ayam yang terbang. Di desa ada Mamak, Aki dan Tetua Pamano dan keluarganya. Tapi di desa tidak ada perang dengan Belanda. Di desa tidak ada perang dengan Jepang. Di desa tidak ada pahlawan revolusi.


...


Solo, di hari yang katanya hari pahlawan. 

Di desaku tak ada pahlawan revolusi lagi, Sir! 

Sita Sarit • 2018-2019