Down to the Old Rail Alley (Tersesat)


Waktu itu setelah hujan deras. Kuturuni jalan yang landai hingga ke pertigaan. Air menggenang setinggi lututku. Basah, badan dan barang bawaanku. Kalau air lebih tinggi lagi, mungkin aku akan berenang, pikirku. Tapi tidak dengan tas berat berisi pakaian, air, paspor, dan uang ini. Aku sadar sedang tersesat di negeri orang!


Di pertigaan ini jalan yang kulalui mencabang. Aku tidak sabar untuk memilih, jalan mana yang akan kulalui. Aku bingung. Sedangkan air mengalir ke jalan yang lebih rendah. Seandainya aku bisa mengalir saja seperti air genangan itu.


Sayup kudengar suara wanita. Wanita-wanita. Tidak, wanita-wanita dan perempuan. Kusambangi mereka. Kaki-kaki mereka basah, tangan memegang erat sepatu dan bungkusan makanan dan kitab. Bukan Alkitab atau Alquran. Seperti pulang dari pengajian atau arisan. Mata mereka memandangiku. Hangat. Mereka tahu aku tersesat.


Perempuan itu tertawa renyah, sambil mendengarkan ibunya memberi saran untukku. Katanya, aku bisa ikut mereka, untuk kembali menaiki jalan sebelum aku sampai di pertigaan itu. Aku setuju saja. “Kamu harus mencari tumpangan kereta”, tambahnya. Aku semakin setuju saja. Aku ikuti mereka berjalan naik, kembali melalui jalan sebelum pertigaan berair itu.

Jalan mulai menanjak dan menyempit, kadang tertutup seperti terowongan. Di sisi kiri jalan ada rel, kecil dan mulai berkarat. Bukan rel untuk kereta api. Mungkin untuk membawa hasil pertanian. Beberapa kali kami melalui rongsokan di tengah jalan. Rongsokan yang menyerupai permainan anak-anak. Sekali kujumpai ferris wheel, lalu kepala kuda untuk carousel. Menarik. Coba aku datang sepuluh, dua puluh tahun yang lalu...


Hampir satu jam kami berjalan. Mereka jalan cepat sekali. Hingga akhirnya kami mendekati ujung jalan. Terhubung dengan savanna, luas. Seorang wanita menunjuk pada sebuah trolley kecil beroda empat. Merah warnanya. Mereka tersenyum lega. Aku beruntung, katanya, ada satu kereta untukku. Ukurannya pas untuk tubuhku tapi tidak untuk kedua kakiku. Aku akan menuruni jalan yang sama lagi. Dengan kereta mereka. Atau lebih tepatnya, dengan trolley supermarket!


Tepat sebelum aku berpamitan dengan kelompok wanita itu, ada seorang lelaki muda. Menggantungkan kamera di dadanya. Ransel di punggungnya. Dan dua trolley kecil dipegang oleh kedua tangannya. Jelas seorang luar. “Dia seorang Perancis,” bisik wanita di sampingku, “kau bisa ikut dengannya”. Aku ragu, tapi aku setuju. Sedikit basa-basi dalam bahasa Inggris seadanya, kami sepakat untuk menuruni jalan bersama. Dia bilang, dia pernah menuruni jalan ini. Aku kemudian berpamitan dengan wanita-wanita itu, berterima-kasih pada mereka. Dan aku menuruni jalan ini dengan lelaki Perancis itu.


Aku heran. Ternyata roda-roda kereta kami dapat diletakkan dengan tepat di atas rel yang berkarat itu. Lelaki Perancis itu hanya tersenyum. Sepanjang jalan, kami melesakkan diri ke dalam kereta masing-masing. Kereta lelaki itu di depan, diikuti kereta barangnya yang diikatkan di tangkai keretanya. Lalu keretaku sebagai ekornya, terpisah. Sewaktu-waktu aku minta berhenti untuk membenarkan posisi tubuhku yang kesulitan membawa tas. Keretaku hanya satu.


Di jalan kami diam. Hanya berbicara ketika ada sesuatu menghalangi laju kereta kami. Sampai di tengah jalan dia bilang: “Kita berhenti!”. Dia membangkitkan diriku dari keretaku dengan paksa. Lalu menarik keretaku ke keretanya, menalinya dengan tambang kecil. Akhirnya tiga kereta itu menjadi satu rangkaian. Dia mengambil semua barang, termasuk tasku, dimasukkan ke kereta yang paling belakang, diikatnya erat. Dia menyuruhku duduk di kereta di tengah. Kemudian mengambil kameranya dan mengambil gambarku terperosok dalam kereta itu. “Dan aku seperti membawa bayi sambil berbelanja di mall!” katanya, kami tertawa bersama-sama.


Masih di pertengahan jalan. Di depan kami, jalan membentuk terowongan, gelap dan panjang. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak, minum dan makan bekal kami seadanya. Kami duduk-duduk di samping kuda-kuda sisa carousel. Dinding yang kami sandari licin dan berlumut, dinding batu kali. Lelaki Perancis itu sibuk memotret sana-sini. Sambil tertawa-tiwi sendiri. Aku senang. Kami senang. Dari teworongan terdengar suara roda-roda bersinggungan dengan rel. Lamat-lamat lalu mendekat. Lalu muncul kereta yang lebih besar dari punya kami, berisi potongan-potongan kayu bakar. Seorang lelaki berkepala botak dibelakangnya, mendorong kereta pelan-pelan. Bercahayakan obor kayu bakar. Seorang biksu.


Biksu itu berhenti di depan kami. Diam lalu menunjuk ke botol air dalam kereta kami. Lelaki Perancis yang mengerti kebiasaan lokal segera mengayunkan botol air itu kepada biksu. Diminumnya air putih itu. Seteguk demi seteguk. Bersendawa dan melanjutkan minumnya. Biksu itu kini terlihat segar. Lebih baik dari sebelumnya. Dia mulai mengajak kami bercakap. Kami hanya mengernyit dahi, kami  tak tahu bahasa lokal. Lalu kami tertawa bersama. Biksu itu segera bersiap untuk melanjutkan perjalanannya. Diberikannya dua potong kayu bakar pada kami. Dinyalakannya. Lalu ditunjuknya terowongan dengan obor itu. Kami mengakhiri perjumpaan sang biksu dengan mengambil gambarnya, lengkap dengan kayu-kayu bakar di atas trolley-supermarketnya. Kami juga meneruskan perjalanan kami.


Kereta kami yang serangkaian mulai berjalan, lebih cepat. Jalan mencuram. Tak ada pegangan selain tangkai kereta belanjaan kami. Rem manual yang sedari tadi kami operasikan dengan menyatukan sol sepatu dengan tanah pun tak berhasil melambatkan laju. Kami berteriak sekencang-kencangnya. Berharap ada yang mendengar dan mengeluarkan kami dari terowongan gelap ini. Setelah perutku terasa mual dan aku tak bisa menahan lagi, terdengar suara gemericik air. Pertigaan itu! Yah, kami keluar dari terowongan, dan berlanjut ke jalan melandai, yang menuju pada jalan tergenang air. Seketika kereta kami tergenang hingga ke tengah-tengah. Semua badan kami kuyup. Juga barang-barang kami.


Kami mencoba memberdirikan badan, di dalam kereta yang masih melaju. Lelaki Perancis itu tiba-tiba berteriak: “Kiri atau kanan!”. Aku tak tahu. Aku tak tahu dan hanya menutup mata. Air yang mengalir itu membalikkan kereta kami beserta isinya. Aku tak tahu arah mana yang telah kami tempuh. Air telah membawa kami turun. Mendamparkan kereta-kereta kami di depan sebuah kapal besar. Kapal berbendera merah-putih di haluannya. Dan aku sadar, aku tak lagi tersesat.

“Kadang untuk bisa melangkah lebih jauh, kita perlu tersesat, berjalan mundur, mengenal orang-orang baru dan mempelajari hal-hal baru.”
Jogja, 05/11/10

Sita Sarit • 2018-2019