Bedhaya Semang, Makna dan Materialitas

Tradisi tari klasik di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan satu bagian dari peninggalan pusaka intangible (tak teraba) yang berakar dari sejarah dan masih dipertahankan serta dikembangkan selama berabad-abad lamanya. Tradisi tari klasik di Keraton Ngayogyakarta tidak hanya merupakan sebuah olah gerak tubuh yang diwariskan dari generasi ke generasi, namun juga menjadi simbol yang penuh makna, sebagai pelestari ritual, pengikat identitas, penanda sejarah, serta simbol legitimasi pemangku kesultanan.

Salah satu dari tradisi pertunjukan regalia ini adalah tari klasik Bedhaya Semang yang ditarikan selama empat jam oleh sembilan penari dan digelar di Kagungan Dalem Bangsal Kencana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan hanya pada perayaan tertentu. Tari yang konon diciptakan oleh Kangjeng Ratu Kidul dengan iringan gendhing (musik) ciptaan Sultan Agung pada zaman Mataram Islam ini seiring waktu bertransformasi dan menjadi beksa pusaka (tari pusaka), induk serta acuan estetika perkembangan hampir seluruh tari klasik gaya Yogyakarta, terutama tari Bedhaya dan Serimpi, baik yang ditarikan di dalam kesultanan maupun di luar istana.[1]


Tari klasik Bedhaya Semang sempat ditinggalkan pelestariannya karena kehendak untuk mengembangkan berbagai kreasi tari klasik selama hampir satu abad terakhir, namun tari Bedhaya Semang dapat dilestarikan kembali oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada peringatan Tingalan Jumenengan Dalem beliau yang ke-13 pada tanggal 7 Oktober 2002 sebagai wujud penyelamatan pusaka adiluhung di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Makna dan Pentingnya Tari Bedhaya Semang
Tari Bedhaya Semang, pada awalnya merupakan tarian yang dipersembahkan oleh Kangjeng Ratu Kidul kepada Sultan Agung (1613—1645) ketika beliau dikunjungi Sultan di Laut Selatan.[2] Tarian yang indah ini kemudian diberi nama oleh Sultan Agung dan direkonstruksi di istana untuk dipertunjukkan secara turun menurun sebagai pertunjukan kebesaran raja di kerajaan Mataram Islam serta sebagai tanda dukungan dari sisi Kangjeng Ratu Kidul terhadap kelanggengan raja-raja Mataram. 

Kehidupan Bedhaya di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang awalnya tidak pernah lepas dari kehidupan raja merupakan sebuah tanda berfungsinya Bedhaya sebagai penanda sejarah, simbol untuk memperkokoh legitimasi raja yang sah dari kesultanan Yogyakarta.[3]

Sejak diciptakan pertama kali pada zama Mataram Islam, tari ini diboyong ke Kesultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke I, disusun dalam bentuk manuskrip oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke II, berhenti dipentaskan pada era Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII dan mulai direkonstruksi pada era Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. 

Keraton Yogyakarta banyak disebut oleh beberapa sarjana kebudayaan sebagai pelestari tradisi istana yang kuat, sehingga diduga bahwa teknik tari Jawa Gaya Yogyakarta pada tengah kedua abad ke-18 itu tidak terlalu banyak beda dengan teknik tari pada masa kini.[4] Bedhaya Semang yang hanya digelar pada penobatan atau pengukuhan sultan, ulang tahun raja, peringatan keraton atau pisowanan agung, diperkirakan menjadi pengikat identitas raja Jawa yang turun-temurun, menjaga bentuk-bentuk tradisionalnya yang autentik.

Jenis tari-tari Bedhaya bukanlah tari pertunjukan yang bersifat hiburan semata. Mitos mengenai hubungan Kangjeng Ratu Kidul dan kesultanan yang termanifestasikan dalam bentuk tari-tari Bedhaya menjadi penting untuk menjaga keselarasan kosmis raja, istana dan pemerintahannya, dengan makrokosmos atau jagad raya.[5] Di sisi lain mitos pertemuan asmara antara Sultan dan Ratu Kidul dalam Bedhaya Semang juga diasumsikan sebagai simbol kesuburan.[6]

Seluruh rangkaian pertunjukan tari Bedhaya merupakan peristiwa yang sakral atau suci, berupa upacara-upacara kecil yang sangat religius, baik dari latihan-latihannya, gladi bersih, hingga penyelenggaraan pergelarannya, yang selalu disertai dengan sesajen atau laku ritual oleh para penari dan pendukungnya demi keselamatan dan kelancaran acara. Sisi spiritualitas dalam tradisi yang dilanggengkan hingga kini tersebut melambangkan keberadaan tari klasik Bedhaya menyandang fungsi pelestari ritual di kesultanan, yakni untuk mempertahankan unsur tradisi Jawa.

Materialitas Tari Bedhaya Semang
Tari Bedhaya merupakan sebuah bentuk tari istana, yang lazimnya ditarikan oleh sembilan orang penari putri.[7] Pada zaman Jawa-Hindu, Bedhaya berarti bidadari yang sedang menari. Tari Bedhaya dipandang sebagai tarian persembahan kepada raja dan laku ritus yang dibawakan oleh penari dengan segala kelengkapan penyajiannya dianggap sebagai peristiwa yang sakral sehingga para penari Bedhaya adalah penari putri keraton terpilih, yang masih gadis, dan pada saat menari harus dalam kondisi suci. Sebelum pertunjukan tari dimulai, harus didahului dengan sesaji, diiringi doa dan membakar kemenyan.[8] 

Tari Bedhaya Semang ditarikan oleh sembilan orang penari. Jumlah angka sembilan dalam pandangan filsafat Jawa adalah jumlah bilangan terbesar dan merupakan simbol dari keseluruhan jumlah lubang yang terdapat pada tubuh manusia. Hal ini terkait dengan filosofi babahan hawa sanga yang mengandung arti untuk memberikan tuntunan hidup menuju jati diri yang positif. Nama Bedhaya Semang sendiri lahir juga karena dorongan gejala politik yang besar, sehingga memunculkan kata semang yang mengandung arti sumelang, was-was, atau khawatir.[9]

Di sisi yang lain, jumlah sembilan penari Bedhaya juga dipahami bersama sebagai simbol yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman kerajaan Mataram Islam pada abad XVI dengan asumsi bahwa jumlah tersebut serupa degan keberadaan pada wali yang merupakan manggala penyebaran agama Islam, yakni Wali Sanga. Salah satu dari Wali Sanga, yaitu Sunan Kalijaga, mempunyai peran yang penting dalam perkembangan budaya Jawa.[10] 

Selain Bedhaya keraton yang mempunyai aturan yang sangat ketat, terdapat juga tari Bedhaya yang ditarikan oleh tujuh orang yang dinamakan Bedhaya Pangeranan serta Bedhaya Kakung yang ditarikan oleh penari laki-laki, namun biasanya ditarikan di luar bangsal utama keraton. 

Dengan sifatnya yang sakral, tari Bedhaya lazim mengambil dasar cerita dari mitos atau legenda, yang secara tematis mengandung makna filosofis, sosio-religi, etis dan moral yang aktual pada zamannya. Makna-makna tersebut tampak secara turun-menurun menjadi konsep estetis dan koreografis tari Bedhaya di Keraton Yogyakarta.[11] Tari Bedhaya Semang sendiri mengambil cerita asmara dari Sultan Agung dan Kangjeng Ratu Kidul sebagai konsep koreografinya.

Terdapat beberapa aspek estetis yang dapat dinikmati dan dimaknai dalam Tari Bedhaya Semang, yakni aspek wiraga, wirama dan wirasa yang tidak terpisahkan.[12] Wiraga atau gerakan dari tari Bedhaya Semang sangat halus dan simbolis. Tari Bedhaya Semang ditarikan selama empat jam oleh sembilan penari yang menjadi satu kesatuan dan selalu berada di atas panggung selama pergelaran berlangsung. 

Gerak tari Bedhaya Semang secara garis besar terdiri dari sikap dari kepala, lengan, tangan, badan, dan tungkai kaki secara harmonis. Gerakan-gerakan dari Bedhaya Semang menjadi gerak induk dari semua tari Bedhaya dan Srimpi di Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Wirama adalah aspek bunyi dan waktu atau iringan musik dan lagu. Tari Bedhaya Semang diiringi orkestrasi gamelan lengkap Gendhing Pradangga[13] dengan musik Gendhing Semang Pisowanan, Ladrang Semang, serta Semang Ketawang. Dalam orkestrasi gamelan untuk Bedhaya Semang, terdapat instrumen yang unik dan khas yaitu Kemanak. Adapun lirik yang dilagukan baik tersurat maupun tersirat dalam sindhènan Bedhaya Semang sarat akan makna dan ajaran yang luhur. 

Apabila gerak penari Bedhaya Semang dipertunjukkan terpadu dengan sindhènan dan iringannya, seakan dapat membawa ke era berabad-abad lalu yang gaib dan jauh dari keramaian saat ini, sebuah kearifan dan pusaka warisan yang tak ternilai harganya. Di sisi lain, Wirasa adalah aspek batiniah yang menghidupkan wujud tarian.[14] Dalam Bedhaya Semang, ruang pementasan menjadi penting dan mempengaruhi penjiwaan penari dan pola lantai tarian yang menyesuaikan arsitektur bangsal kencana.[15] 

Warna busana dodot atau kampuh disertai rias paès ageng yang dikenakan penari memantulkan karakter yang gemerlap namun tetap anggun dan sakral.[16] Penari Bedhaya Semang juga menggunakan properti pistol yang menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintahan kolonial serta menjadi simbol puncak romantisme pertemuan Kangjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram.

Dalam pergelarannya, kadangkala ada beberapa penari atau penonton dapat merasakan kehadiran penari lain di luar kesembilan penari Bedhaya yang bukan merupakan manusia; kehadiran mereka kadang memberikan kehangatan roh kepenarian dalam berekspresi dengan suasana magis.[17] Diyakini, kehadiran roh tersebut merupakan tanda kehadiran tokoh mitologis Kangjeng Ratu Kidul bersama utusannya, hal ini juga menunjukkan masih berlangsungnya dukungan yang kuat dari Kangjeng Ratu Kidul kepada Trah Mataram, khususnya melalui Bedhaya Semang.[18]


Sita Sarit
* Tulisan ini merupakan satu bagian dari serangkai artikel yang dibuat untuk Tepas Tandha Yekti, Yogyakarta. 

__________
Catatan Akhir/referensi:
[1]Suharti, Theresia (2012). Bedhaya semang karaton ngayogyakarta hadiningrat: Reaktualisasi sebuah tari pusaka. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Disertasi.
[2]Prajapangrawit, R. Ng. (1990). Wédhapradangga: Serat Sujarah Utawi Riwayating Gamelan, Serat Saking Gotek, Jilid I—VI. Alih aksara Sogi Sukidjo dan R.Ng.Renggosuhono. Surakarta: STSI Surakarta & The Ford Foundation. Hal. 57-70, dan dalam Hageng, K.R. (1898). Serat Nitik Sultan Agung, manuskrip koleksi Kapujanggan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, No. MS. 54 A. 66. Hal. 40. Seperti dikutip oleh Suharti (2012). Hal. 47—48.
[3]Soedarsono, R.M.(1997). Wayang wong: Drama tari ritual kenegaraan di keraton yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Edisi Bahasa Indonesia. Hal. 163.
[4]Soedarsono, R.M. (1990). Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 30, seperti dikutip oleh Suharti (2012). Hal. 6.
[5]Kusmayati, A.M. Hermien (1988). Bedhaya di pura paku alaman pembentukan dan perkembangannya: 1909—1987. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
[6]Suharti (2012).
[7]Brongtodiningrat, K.P.H. (1981). “Falsafah Beksa Bedhaya sarta Beksa Srimpi ing Ngayogyakarta”, dalam Dewan Ahli Yayasan Siswo Among Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat, Kawruh Joged Mataram. Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa. Hal. 17. Seperti dikutip Suharti (2012), Hal. 118.
[8]Lelyveld, Th. B. (1931). De Javaansche Danskunst. Amsterdam: van Holkema & Warendorf’s Uitgevers Mij. Hal. 237. Dikutip oleh Suharti (2012). Hal. 119.
[9]C.F. Winter Sr. dan R.Ng. Ranggawarsita (1987). Kamus kawi jawa, alih aksara oleh Asia Padmopupito dan A. Sarman An. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 245. dalam Suharti (2012). Hal. 199.
[10]Prajangrawit (1990). Hal. 69, seperti dikutip oleh Suharti (2012). Hal. 56—57.
[11]Suharti (2012). Hal. 139.
[12]Suharto, Benedictus dan Taufik Rahsen, ed.(1998). Dance Power: The Concept of Mataya in Yogyakarta Dance, Benedictus Suharto. Bandung: Sastrataya, MSPI. Hal. 13-16 dalam Suharti (2012)
[13]Prajapangrawit (1990). Hal. 69-70.
[14]Dalam istilah khusus disebut dengan nama Joged Mataram, sebagai ilmu yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Konsep yang ada dalam joged Mataram ini ada empat unsur, yaitu sawiji (konsentrasi), greget (semangat), sengguh (percaya diri), dan ora mingkuh (pantang mundur). B.P.H. Suryobrongto (1976). Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta. Hal.20-23 seperti dikutip Suharti (2012). Hal. 73.
[15]Suharti (2012). Hal. 188.
[16]Suharti (2012). Hal. 188-189
[17]Suharti (2012). Hal. 140.
[18]Suharti (2012). Hal. 141, 284.

Sita Sarit • 2018-2019