Menulis Buku Harian


Membaca mungkin bukan keahlianku. Aku tiada pernah bisa mengingat kapan pertama kali belajar membaca. Yang aku ingat mamaku sering berkata kalau pada saat mau masuk sekolah dasar, aku sudah senang membaca koran. Apakah mungkin yang ia maksud dengan membaca adalah ‘melihat-lihat’?

Aku juga tak ingat kapan aku bisa menulis. Yang aku ingat saat itu usiaku delapan tahun dan papaku memberikan aku dan kedua kakakku masing-masing sebuah buku diary mini. Diberikan ketika kami hendak berlibur sekeluarga ke Bandung. Katanya, kami boleh menulis memori liburan kami di situ. Meski pada akhirnya bukuku itu hanya terisi separuh dari halaman pertama. 

Menulis dan membaca menjadi momok dalam hariku. Aku cuma ingat kesukaanku melihat-lihat majalah trubus dan nova, saat-saat kumpulan cerpen anak dan komik jadi penenang selepas pulang sekolah, dan ketika menulis puisi dan cerita misteri serta roman menjadi hobi ringan. Hingga memasuki saat kuliah, menulis jadi kewajiban, kompetisi review dan esai menjadi penentu kelulusan mata kuliah, nilai atas tulisan menjadi ketakutan terbesar. Momok itu dimulai.

Momok itu kini masih tidak selesai meski aku berhasil menamatkan kuliah dan melanjutkan sekolah lagi. Kata beberapa orang, momok itu mungkin bukanlah tulisan atau bacaan, momok itu menjelma menjadi writers’ block bahasa kerennya. Sedang kata orang lain, momok itu hanyalah kemalasan dan alasan untukku sebagai seorang penunda sejati. 

Mungkin banyak yang punya pengalaman yang sama, banyak penyintas dan mungkin masih ada yang berkutat dengan kesulitan membaca dan menulis sepertiku. 

Enam tahun yang lalu sempatku bertanya pada seorang peneliti kawakan di kotaku: bagaimana cara keluar dari kondisi ini? Katanya, diapun tidak bisa selamat dari momok ini, dan pada saat yang sama dia sebetulnya sedang menunda pekerjaan menulis dari kantorku. Meskipun mungkin dia enggan membahas tentang pekerjaannya, tampaknya dia sedang bahagia karena hari itu ia sedang ulang tahun dan mau menjawab pertanyaanku. Jawabnya: mulailah dengan menulis buku harian, setiap hari, sependek apapun. 

Enam tahun kemudian aku kembali ke kota yang sama, memandangi buku harianku yang sudah beberapa tahun kubawa kemana-mana. Buku yang ikatannya sudah tak rapih, tulisannya di tiap halaman tidak sama, beraneka warna tinta penannya. Walau sudah hampir penuh dan membuatku melihat-lihat buku baru setiap pergi ke Toko buku, aku baru ingat. Aku tak pernah menulis tiap hari. Kolom tanggalnya meloncat-loncat, kadang empat hari berturut-turut, kadang berjeda dua minggu hingga empat bulan. Aku baru ingat: ini bukan buku harian, ini buku tulisan sesuka hati.

Aku sampai sekarang masih bertanya-tanya. Benarkah cara menulis buku harian itu akan berhasil?


ciao!
sita sarit



Sita Sarit • 2018-2019