Mudik Pertama: Pati - Juwana (Part One)



Mudik pertamaku adalah di tahun ini. Bisa kukatakan keluarga intiku hampir tidak pernah melakukan mudik sepanjang tahun ke belakang. Biasanya rumah orangtuaku yang merupakan warisan dari kakek-nenek papaku dikunjungi oleh hampir semua keluarga besar di Hari lebaran atau sesudahnya. Sedang rumah orang tua mamaku yang berada di kota yang sama juga berlaku sama. 

Paling jauh, yang kami lakukan adalah berkunjung ke kota tetangga, sekitar satu jam perjalanan untuk berziarah dan bertemu saudara jauh, itupun dapat dilakukan dalam satu siang. Lalu libur panjang untuk apa? Bagi kami, libur panjang berarti liburan! Ya, piknik ke kota atau pulau lain dengan satu mobil, membawa bekal makanan secukupnya dan menginap beberapa malam untuk mencoba wahana wisata. Meskipun di kota tujuan sempat bertemu saudara jauh, itu hanya sisi kecil dari piknik keluarga. 

Menjadi tahun pertama menikah, usai lebaran kali ini aku mengikuti rute mudik keluarga suami: Pati - Solo - Klaten - Yogyakarta - Pati. Aku dan suami bertemu rombongan di Solo dan mengkuti separuh rute itu. Bertemu keluarga besar itu sudah pasti, bersalaman dan bertukar kabar. Karena tidak pernah mudik, sesampai di Pati badanku cukup capek, dan perut sudah tidak keruan rasanya. Akhirnya aku ubah mindset mudik kembali jadi liburan untuk menemukan sesuatu yang baru buatku di Pati: Kecamatan Juwana.

The Dock

Alih-alih pantai, aku merengek untuk diajak ke pelabuhan Juwana. Karena hari itu masih dalam suasana lebaran, semua kapal kayu nelayan sedang berlabuh karena kegiatan pencarian ikan libur sebulan penuh semenjak awal Ramadan. Beruntunglah kami bisa melihat ratusan kapal yang ditambatkan secara berderet sepanjang tepi daratan. Hampir semuanya masih bau cat karena nelayan juga memanfaatkan musim ini untuk merenovasi dan mempercantik kapalnya. Merah mawar, biru langit, hijau toska dan kuning lemon bergaris-garis seperti kue lapis di badan kapal. 

Sembariku menikmati konstruksi kapal dan bau amis kotak-kotak ikan di perutnya yang berbaur bau cat baru, suami sempat berbicang dengan awak pelabuhan yang sedang bertugas mengecek kulkas raksasa penyimpanan ikan di gudang-gudang. Kami sempat melihat satu kapal paling besar yang mereka sebut dengan kapal Papua, kapal itu dirancang lebih kokoh dan besar sebab digunakan untuk berlayar mengarungi lautan Jawa dan Banda hingga ke Papua, menempuh hingga enam bulan lamanya. Bagi para nelayan, kapal laksana rumah kedua, yang mereka rawat, hias dan pertaruhkan dengan hati dan nyawa.

Menyusuri Jalan setapak yang menghubungkan pelabuhan dan pasar pelelangan ikan, kami melihat banyak industri kecil pengepakan dan pindang ikan. Hmm.. bau nikmat pakan favorit kucing di rumahku yang sering aku goreng untuk makan siangku serasa mengikuti sepanjang jalan. Kami juga melihat beberapa pondokan padepokan paranormal, tempat para pencari wangsit bertukar ilmu dan para nelayan memohon doa perlindungan. Di akhir rute, kami mampir pada sebuah perhentian kecil yang mengarah pada Pulau Seprapat. Kami menghabiskan sejenak waktu melihat keahlian orang-orang sekitar yang berusaha memancing ikan dengan umpan lokal. Menjelang sore kami berancang pergi dan baru sadar jalan yang kami lewati untuk masuk ke sana sudah tergenang air pasang. Bergegaslah kami mengegas motor, menyusuri jalan setapak pelabuhan ke arah kota dan melanjutkan perjalanan.

ciao!
sita sarit











Hello from us! xoxo

Sita Sarit • 2018-2019