Mudik Pertama: Pati - Juwana (Part Two)

The Smoked Fish

Niat awalku bertandang ke Juwana saat mudik pertama di Pati kali ini sebenarnya sangatlah sederhana. Aku tertarik dengan ikan asap kesukaan, dan karena Juwana terkenal dengan bandengnya, maka asumsiku di sanalah aku akan bertemu dengan penjual ikan bandeng asap. Perasaanku akan bertemu ikan-ikan sangat membuncah, bahkan ketika sebelum mencapai Juwana, kami melintasi seorang laki-laki yang mengayuh sepeda di Jalan raya sambil mengengam seekor ikan segar membuatku tersenyum-senyum sepanjang perjalanan!

Bagaikan hujan di tengah rencana akan ke kondangan, pupus sudah harapan ketika ternyata pasar pelelangan ikan di Juwana turut berlibur di musim paska lebaran ini. Setelah berkeliling pasar dan dermaga, kami bertemu seorang petugas dan ia menyilakan kami untuk pergi ke Desa Bendar, di sanalah kalian akan bertemu dengan penjual ikan asap katanya. Kamipun berterimakasih lalu mengangkat kaki menuju Bendar. 

Sepanjang Jalan tidak sampai dua puluh menit kemudian kami lapar, dan memutuskan untuk makan siang (yang terlambat). Suami memperkenalkan ke Warung Bu Marni yang menyajikan menu khas mangut kepala ikan Manyung. Warung ini sangat populer, dan bisa dibuktikan dengan deretan mobil ber-plat non-K yang berhenti di sana. Karena kepala ikan bukanlah makanan lezat buatku, suami terpaksa memesan mangut daging ikan manyung buat kami berdua. Tidak kuduga, rasanya lezat sekali! Paduan ikan mangut asap dan kuah santan encer yang pedas dan mengigit. Di depan kami berdua, serombongan bapak-bapak memesan kepala ikan manyung, dan tidak kuduga, aku meneteskan air liur ketika melihat ikan manyung itu disajikan dan dikudap mereka, dan aku langsung berjanji pada suami kalau di masa depan kami makan di sana lagi akan memesan kepala ikan itu!

Masih terbayang kelezatan kepala ikan yang tidak kami pesan, kami melengang keluar warung dan melanjutkan ke Kampung Bendar. Kampung ini cukup luas, dengan rumah-rumah baru berwarna ngejreng dan cantik layaknya perumahan di kota. Mobil-mobil yang terparkir di garasi-garasinya, kebanyakan berwarna ngejreng pula dan beberapa keluaran terbaru. Tidak salah kalau kampung ini dihuni nelayan yang kaya-raya, batinku. 

Kami bertanya hingga menemukan pasangan kakek-nenek yang menjalankan industri rumahan ikan asap di pinggir kampung, tepat di Sisi sungai di mana kapal-kapal bertengger, selemparan batu dari lapangan Bendar. Ruangan pengasapan yang cuma seluas kira-kira 2x3 meter persegi itu hitam legam, ditengahnya sang nenek dengan gesit membolak-balik ikan di tungku pengasapan semacam tungku pizza italia, dengan bahan bakar sabut dan batok kelapa. 

Di luar ruang utama, sang kakek dengan sabar mengiris-iris ikan dan memilah berdasarkan jenis dan ukuran ikan, sembari menjemur karung-karung bungkus ikan yang mereka ambil dari para nelayan yang mampir di bibir sungai. Mereka menyambut kami dengan senyum dan menyilahkan kami memlilih ikan bagian mana yang akan kami bawa pulang. Setangkup kepala ikan manyung atau potongan badan ikan manyung asap yang gurih? Kepala-kepala ikan itu sangat besar dan menarik keluar air liurku ketika diletakkan berderet di loyang bambu anyam. 

Meskipun bukan bandeng asap yang kutemui, tapi kebahagiannku yang sederhana sudah terpenuhi dengan bertemunya kami dengan sepasang kakek-nenek pengrajin manyung asap ini. Kami bersepakat membeli dua wadah daging ikan manyung asap, karena tidak yakin bisa memasak kepala-kepala ikan raksasa di wajan mungil kami di rumah. Alhasil, balado daging ikan manyung asap pun berhasil kami masak dan menemani malam kami bersama keluarga dengan gembira. 


ciao!
sita sarit

MANGUT KEPALA IKAN MANYUNG KHAS WARUNG BU MARNI, image by M.ABE 
MANGUT DAGING IKAN MANYUNG BU MARNI 
NENEK PENGASAP IKAN MANYUNG di BENDAR, image by M.ABE

DAGING IKAN MANYUNG ASAP di BENDAR, image by M.ABE

Sita Sarit • 2018-2019