image: bagian dari poster idrf 2018 |
Pembacaan pertama oleh dua kawan dari MES 56, Wok The Rok dan Edwin Roseno merupakan sebuah naskah berjudul "Cut Out" yang dikembangkan dari arsip sejarah seni rupa Indonesia oleh Riyadus Shalihin. Bentuk teater arsip yang konvensional coba diangkat MES untuk mewakili ilmu sejarah yang terbentang waktu, dalam konteks ini sejarah seni rupa sejak tahun 1920-an, yakni awal era kolonialisme di Hindia Belanda hingga akhir 1990-an yang secara politik mewakili era keterbukaan opini publik pasca reformasi. Tautan antara seni dan politik memang tak bisa dihindari di Indonesia, karena di awal perkenalan seni rupa di negeri eksotis ini, gambaran mengenai seni rupa (modern) datang dari Kaum Belanda yang notabene berkuasa di masyarakat. Dilema antara panggilan hati untuk penjelajahan estetika dan kedekatan personal dengan yang dikata sang penjajah tidak bisa dinyana. meskipun rupanya banyak perupa yang justru mempertahankan ideologi kebangsaannya dengan ekspresi yang kuat dalam karyanya walau implisit seperti Raden Saleh—karena sebagai seniman internasional dari jajahan ia harus melayani karya-karya komisi dari para penguasa di kerajaan-kerajaan Barat untuk bisa bertahan hidup. Hal ini tentunya berbeda dengan di era 1950an di mana seniman era itu sangat disayang oleh pihak Jepang demi propaganda di masa sebelum, dan hingga Indonesia merdeka. Pada era ini juga keterkaitan antara seniman dan kecenderungan politik sangat tinggi karena pemerintah telah sangat terbuka dengan medium seni sebagai sarana penyampaian ideologi.
Keterbentangan masa dalam pembacaan dapat dirasakan oleh penonton, bukan karena set panggung dan kostum atau penarasian dari pembaca, namun tempo ruang waktu ini dapat dirasakan dari musik dan komposisi suara suasana yang melatarbelakangi pembacaan. Pada era kolonialisasi misalnya, cuplikan suara-suara dari film di masa itu yang berbahasa Belanda memberikan suasana kolonialisme yang kuat. Begitu juga di masa pendudukan Jepang dan paska kemerdekaan, lagu berbahasa Nippon, suasana peperangan dan deklarasi kemerdekaan hingga lagu nusantara yang didistribusikan oleh Sukarno cukup memberikan konteks waktu dan bahkan suasana politik yang bisa menegakkan rambut-rambut tipis di tengkuk. Sedangkan di sisi lainnya, MES 56 dengan jenaka berhasil menawan hati penonton dengan memasukkan dialog-dialog tambahan berbahasa Jawa, menggelitik dan mempermudah penyampaian drama yang secara narasi sesungguhnya cukup padat isi ini.
Yang juga menarik dari pembacaan ini adalah cuplikan dari naskah-naskah pidato dan percakapan riil antar tokoh dalam narasi historis ini dibawakan dengan pembedaan karakterisasi suara oleh personil MES 56. Sehingga personalisasi kutipan-kutipan dari naskah arsip yang diwacanakan oleh Riyadus Shalihin dapat diterima oleh pendengarnya dengan baik. Satu yang mungkin penting untuk diperdebatkan, seperti yang pernah dilontarkan oleh salah seorang penonton di depan panggung itu adalah bahwa sepanjang narasi dibacakan tidak ada tokoh wanita yang hadir dalam naskah tersebut, dan pembacanya pun lelaki semua. Hal ini ia pertanyakan karena menganalisa di manakah peran wanita dalam konteks sejarah seni rupa Indonesia, dan bagaimana pula representasinya hingga kini.
Pertunjukan kedua adalah tiga lakon terbaru dari Shinta Febriyani, yakni "Beri Aku Pantai yang Dulu, Gila Orang Gila, Jangan Mati sebelum Dia Tiba". Tiga lakon ini ditampilkan tanpa terputus dengan jeda yang simpel oleh lima aktor dari Jaring Project, dua wanita dan tiga lelaki. Pada awal masuknya aktor dalam pembacaan, seluruhnya membawa plastik merah berisi naskah ke dalam panggung. Lantas dalam beberapa bagian, plastik yang notabene kresek merah itu dipakai menyelimuti muka, dan dibuka sepanjang garis rambut ketika si aktor membaca naskah. Pada beberapa bagian, video yang cukup besar menjadi bagian latar dari pertunjukkan. Kadang-kadang video tersebut menjadi tayangan utama dengan gambaran yang merupakan visualisasi dari baris-baris naskah yang dibacakan, dan kadangkala video itu menjadi kembaran visual atas aktivitas aktor dalam naskah yang tak dapat dilakukan di panggung karena keterbatasan ruang. Video tersebut mewakili set outdoor yang ingin dipertahankan para pembaca untuk menyampaikan imaji ruang waktu yang tepat naskah. Beruntungnya, memang naskah ini pernah dipentaskan sebelumnya di Jakarta dan video tersebut memang diambil sebelumnya di luar ruang di Makassar untuk keperluan yang sama dalam pentas tersebut. Properti cukup banyak digunakan di pentas ini meskipun sederhana, seperti kertas-kertas karton bertuliskan teks sebagai visualisasi naskah tanpa terucap, serta beberapa bunga mawar, gitarlele, dan radio serta plastik kresek merah seperti di awal pertunjukan. potongan karton-karton pendek bertuliskan kata-kata yang jadi bagian dari teks menjadi kuat ketika ia hadir dan mewakili perasaan si aktor di naskah dalam suasana yang hening ataupun ribut.
Sebagian besar aktor dalam pembacaan kedua adalah para profesional baik di panggung maupun layar kaca sehingga otomatis pembacaannya menjadi cukup istimewa. Yang menjadi perhatian lain adalah kepada tiga naskah yang pendek dan tidak dipenggal dengan jelas sehingga keterkaitan antar naskah memang menjadi ambigu. Hal ini diperkuat dengan akhir masing-masing naskah yang menggantung, memberi pertanyaan pada si penonton sendiri: akhir macam apa yang bisa kita harapkan karena kita adalah penentu dari naskah itu sendiri. Hal ini adalah potensi besar yang ditawarkan oleh Shinta karena ia rupanya membangun naskah ini dari rekaman-rekaman wawancara dengan masyarakat tentang beberapa isu sosial perkotaan di Makassar. Bagi Shinta, naskah ini ialah sebuah hasil dari riset serta pendekatan dokumenter yang ia harapkan menjadi teater arsip. Isu yang kerap dialami masyarakat perkotaan seperti kemiskinan, gap ekonomi, konflik sosial, hingga kepasrahan pada nasib dan upaya bunuh diri menjadi titik berat dari pendefinisian pengalaman aktor dalam pembacaan. Di samping itu, sebuah pantai yang menjadi latar belakang dalam naskah, yakni pantai Losari saat ini mengalami reklamasi, dan seperti halnya reklamasi yang lain yang kemudian akan menjadi wilayah hunian baru, ruang ini menjadi ruang konfik yang perlu diperdebatkan akibatnya setelah proses pembangunan selesai. Akankah ada keadilan sosial untuk warganya, akankah selisih-selisih dari jenjang yang ada semakin lebar dan bagaimana masa depan dari hubungan sosial itu sendiri? Banyak sekali pertanyaan yang muncul, dan seperti yang sudah tersebut, semua itu menjadi hak penonton, sebagaimana ujung mikrofon yang diarahkan menghadap ke penonton. Kita yang bertanya, kita juga yang akan memberi jawabnya.