Hari Pertama IDRF 2018: tentang Imaji Masa Depan dan Masa Kini yang Absurd

image: bagian dari poster idrf 2018
Para penonton terlihat memadati teras IFI Yogyakarta dalam sebuah antrian yang memanjang. Ternyata registrasi sudah dimulai. Aku ikut dalam antrian itu dan dengan sabar seperti calon penonton lain, menunggu untuk memasukkan nama dan identitas masing-masing dalam sebuah laptop berisi aplikasi registrasi online. Satu persatu penonton yang telah melakukan registrasi masuk ke ruangan yang sudah hampir penuh. Setelah menyapa kawan-kawan, aku mencari satu ruang kosong di tepi kanan dekat jalur naik ke belakang, dan menempati ruang kosong itu. 
Tak lama lampu di atas penonton mulai dipadamkan, tinggal lampu-lampu sorot di panggung yang menyinari seorang wanita yang menyapa penonton dan mempersilahkan Gunawan Maryanto, salah satu pendiri IDRF. Gunawan dengan gembira menyatakan bahwa IDRF sudah delapan tahun diberlangsungkan dan bahwa IDRF didirikan dan diselenggarakan bersama Joned Suryatmoko dan Lusi. Dalam pembukanya, ia juga menyatakan bahwa mulai tahun kemarin ia sudah menyerahkan pemilihan naskah ke Muhammad Abe sebagai kurator dan ia sendiri, Joned serta Lusi Netia bertahan sebagai pelaksana. Tahun ini IDRF mengundang kurator tamu yakni Rebecca Kezia yang kemudian dipersilakan naik panggung dengan Muhammad. Muh menyatakan bahwa tahun ini ada 4 naskah Indonesia dan satu naskah Jepang yang dibacakan, dengan 2 wanita pengarang di antaranya. Persebaran geografis dari naskah pun cukup luas, dari Jakarta, Madura, Makassar, Bandung serta Tokyo. Ia menjelaskan bahwa naskah yang dibacakan tahun ini cukup mutakhir dan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Maka setelah para pengurus IDRF turun panggung, sebuah suara menggemakan judul dari naskah pertama. Disuarakan oleh seorang wanita layaknya dari sebuah speaker, dengan jeda di antara masing-masing kata dari naskah itu. "Migrasi dari Ruang Tamu." Kemudian empat pembaca naik ke panggung, masing-masingnya duduk di kursi hitam tinggi, membelakangi penonton. Mereka membacakan naskah baris per baris, dan beberapa kali memutar badan, memperlihatkan ekspresi dari satu lakon ke lakon lain, seperti berbincang. Anehnya, lakon yang dibacakan kadang terlalu absurd, dengan aktivitas yang di luar batas dan percakapan yang terputus maknanya dari keseharian kita. Kadangkala, reaksi antar aktor menjadi penting untuk memberikan efek kejut ringan pada penonton dan menambah keanehan teks itu sendiri. Di luar aktor, rekaman si suara wanita dari mikrofon mencoba untuk membantu membingkai pembacaan dengan suaranya yang lantang, yang memberi jeda antar adegan dengan intonasi yang khas serta ketukan mesin tik elektronik di antara lontaran kata-katanya. Teks dari Afrizal mencoba membentuk narasi yang dibangun dalam sebuah panggung, ketika konteks dan lapisannya tidak homogen dan futuristik, apakah esensi tentang manusia masih dapat ditemukan dalam teater? yang jelas, teks ini cukup berkesan, karena ketidakperluan memahami relasi antar aktor dapat diimbangi dengan usaha keras untuk mengimajinasikan panggung dalam naskah jenaka ala Afrizal, semisal "mencukur jenggot dengan mikrofon", "menunggu untuk dirinya sendiri" dan "robot pembersih yang kerjaannya hanya berputar-putar melingkari meja ruang tamu."

Untuk naskah kedua, perempuan si pembuka acara memperkenalkan enam aktor untuk naik ke panggung dan satu pemusik untuk menyusun alat musiknya. Masing masing aktor duduk di atas kursi lipat merah yang berdempetan satu sama lain, dan si pemusik memainkan beberapa petik gitar, demi  menyatakan satu tahap dari pembacaan telah dimulai. Sembari musik terdengar keras, para aktor mulai bersuara. Ternyata seperti sudah diinfokan oleh sang kurator di awal acara, teks ini merupakan kumpulan dari komentar-komentar acak di media sosial Facebook yang dikumpulkan dan dijadikan oleh naskah oleh Shohifur Rido’i. Tak heran jika larik demi larik yang dibacakan terasa padat dan singkat, dan seringkali berulang-ulang satu sama lainnya. Kadang bersahutan dan kadang bertentangan, kadang tak ada tautan sama sekali, meskipun beberapa ada komentar yang tautannya melompat dan terkait setelah melalui beberapa ucap tanpa makna, atau adanya kata-kata sapa yang seperti hanya di permukaan dan terasa tak personal. 

Naskah yang dibacakan ini menyatakan bagaimana kolom komentar di facebook yang kadangkala tipis dan kompak bisa menjadi sebuah bom yang berantai dan membuka kesempatan untuk kemungkinan-kemungkinan kesalahpahaman atau provokasi. Di luar itu, komentar menjadi jalur untuk mendekatkan diri pada yang lain, dan kadang menyambung tali silaturahmi. Karena tahun ini adalah tahun politik menjelang diadakannya pemilihan umum, tak jarang konteks mengenai dukungan calon-calon politisi memasuki sebagian dari komentar yang diungkapkan di panggung. Namun selebihnya, Rido’i banyak memilih komentar-komentar baik yang religius atau satire atas kolom ungkapan dari habib atau ustad dan ustadzah yang cukup populer di media sosial itu. Pada kenyataannya didapati banyak kontroversi mengenai si habib-habib itu sehingga tidak sedikit juga tanggapan yang panas dari publik netizen muncul dibacakan. Kata-kata sapa yang dianggap Islami bersahut-sahutan bisa didengar dengan lantang. Juga mungkin fitnah atau tuduhan yang suliit diketahui kebenarannya tersebar di naskah ini karena nyatanya, di media sosial tidak banyak yang mau atau sadar untuk mengungkapkan (bahkan mencari) sumber asli yang mendukung komentar yang ia lontarkan. Begitulah dunia sosial media. Semua saling melontarkan pendapat, memojokkan, mendukung, memprovokasi, dan menyensor secara pribadi di akun masing-masing selagi ia masih punya kontrol atas akunnya. Pseudo-knowledge yang bertebaran. 

Naskah berjudul "Tiga Lapis Kesedihan" ini dibacakan dalam tiga babak, meskipun si pengarang tidak menyatakan 'lapis' adalah babak. Masing-masing babak dibawakan dengan bentuk posisi duduk dan baca yang berbeda, duduk berdempetan laiknya dalam ruang tunggu pasien dengan keributan atas penyakitnya masing-masing, lalu duduk berdua-duaan, saling menghadap membentuk setengah lingkaran persis sebuah FGD yang intensif. Akhirnya, mereka berdiri dengan perubahan posisi aktor yang acak dengan interaksi yang lebih natural. Masing-masing lapis dalam pembacaan itu dibuka oleh derangan gitar dan efek suara yang menggema keras. Meskipun tiga babak ini terasa sangat berbeda namun kiranya jeda ini tidak sanggup memberi penekanan pembeda babak karena toh konteks dari tiga lapis naskah ini sangat mirip dengan setidaknya satu sudut pandang dominan dalam teks tersebut tentang sampel komunikasi dakwah semu melalui media sosial yang seringkali berlarut-larut. Ruang gerak aktor kemudian menjadi cukup percuma dan terasa menjadi kosmetik dari panggung semata. 

Dari kedua bacaan ini, malam pertama IDRF terasa cukup cepat berlalu, dua naskah pendek yang memberikan kesan futuristik terhadap perlakonan Indonesia sukses sesuai rencana penggagas. Satu naskah dengan adegan yang absurd dan hanya bisa dibayangkan sebagaimana kita sebagai penonton Star Wars, mengimajinasikan kapan dialog yang serupa bakal hadir di dunia yang kita tempati. Sedang satu naskah lainnya, membuang imajinasi kita jauh-jauh, menyadari bahwa dunia yang kita huni sebenarnya sudah sangat absurd dengan lahirnya media sosial. Mengakhiri riviw ini, aku tak sanggup menunggu IDRF malam kedua dan ketiga untuk dialami di depan mataku, dan imajinasiku.

Sita Sarit • 2018-2019