Makhluk-makhluk Air

Dalam hati siapa tahu, dalam air siapa duga?
Pagi ini tidak seperti biasanya. Aku bangun pagi, meskipun tidak sepagi orang-orang yang terbangun karena adzan shubuh dan bangkit untuk menghadap tuhan mereka. Pukul 6:30 sudah cukup pagi bagiku.

Berdiri dari ranjang, segera menuju ke kamar mandi, mencuci muka dan menyikat gigiku yang penuh sisa makanan yang menempel tadi malam, kadang-kadang ketika asam lambung naik aku terdengar seperti ibu hamil muda yang kesakitan karena morning-sicknya. Yang kadang-kadang seperti sekarang ini: aku tidak suka.
Pesan-pesan di ponselku tidak terbaca, hanya terlihat sekilas notifikasi di layar bersamaan dengan dompet dan handuk yang tergesa kumasukkan ke dalam tas jinjing hitam. Ada sebotol sabun, satu sachet sampo dan juga baju renang yang menyusul untuk kucari dan kubawa pergi pagi ini. Cukup lima menit saja untuk membuatku tidak bersabar dan mengeluarkan segala umpatan dalam hatiku. Tetap saja tidak ketemu. Sampai aku harus keluar kamar dan bertanya pada ibuku.

Tidak pernah aku membayangkan akan menjadi seorang yang obsesif kompulsif bila melihat bentuk kamar dan perilakuku terhadap semua barang di dalamnya, tidak terurus dan terserah dimana aku meletakkannya.

Dua menit setelah aku bertanya ibuku sudah membawakan barang-barang yang tadi kucari. Ada di atas meja tamu, katanya. Aku lupa kalau ternyata tadi malam sudah kusiapkan barang-barang itu di sana. Aku lega dan berterimakasih pada ibuku lalu menggeleyer motor dan pergi begitu saja. Ibuku cuma diam. Dia sudah tahu kemana aku akan pergi.

***

Tempat ini sedang direnovasi. Keramik biru yang menyelimuti semua lantai mulai dipipili, ada beberapa yang tersisa dan beberapa lainnya menumpuk di ujung dekat ruang ganti pakaian. Serpihan tanah melapisi telapak kakiku yang membuat risih untuk masuk dalam kolam.

Aku ambil setangkup air, pelan kubasuhkannya ke jari-jari dan telapak kakiku. Meskipun sepertinya orang lain tidak ambil peduli karena airnya terlihat opaque, dan sedikit cokelat.

Sedikit dingin dan ragu-ragu, air mengaliri mukaku. Masih belum basah seluruhnya badanku sebelum masuk kolam. Biarkan saja, toh air kotor inilah yang nantinya membawa jamur-jamur ke kulitku, bukan sebaliknya—sebagai akhir terburuk pun bukan aku yang jahat, menurutku.

Aku diam di air. Mencerap suasana dan mengimajinasikan kolam ini pada empat belas tahun yang lalu. Di mana aku masih takut bertemu kolam ini, dan percik-percik airnya. Dan manusia-manusia yang berenang kesana-kemari. Dan bayang-bayang akan makhluk yang bisa saja menarikku dari dalam kolam.

Mataku terbuka. Aku masih di kolam ini. Dengan segala ingatan dan ketakutan. Sampai kini. Tahun ini.

Solo, Juli 2011.

Sita Sarit • 2018-2019