image: instagram ayupermatadanceco |
Lebih dari setengah jam kami menunggu. Aku dengan canggung berbincang dengan beberapa orang yang kukenal, dan selebihnya aku diam di pinggiran teras, menunggu waktu berjalan. Sampai akhirnya, kami diundang untuk masuk ke dalam ruang di dalam rumah itu, tepatnya di sayap kanan rumah. Dalam ruang persegi dengan empat pasak yang menopang atapnya, para tamu duduk mengelilingi pasak-pasak itu tak beraturan. Di salah satu sisi ruang ada sebuah kursi kayu yang dilapisi kain hitam, semua pintu dan jendela ditutup dan hanya diterangi satu lampu redup di tengah ruangan. Tidak lama seseorang memainkan lampu berwarna hijau dan merah di atas kursi, berkedip-kedip bergantian, mengikuti alunan musik yang mulai menggema pelan menuju lantang. Notasi musik yang mudah dikenali bagi orang Indonesia yang mengetahui Roma Irama, si 'raja dangdut'. Kamu pasti ingat notasi itu meski tak ingat judul lagunya: Terajana.
Kedua lampu hijau-merah masih berkedip hingga nyala seutuhnya, dan dari ujung ruangan masuklah seorang wanita dalam T-shirt biru, berkalung rantai besi yang terasa berat, serta mengenakan celana kargo cokelat susu dengan sabuk kulit yang agak kedodoran hingga terlihat sedikit warna biru celana dalam yang ia kenakan. Meskipun berambut sangat panjang hingga pantat dan berbadan semok, ia tak mengesankan perempuan yang seksi sama sekali, ia justru mengingatkan kita pada tampilan beberapa lelaki paruh baya dari bentuk tubuh yang dibuat-buat oleh perempuan itu; khas penonton dangdut dalam sebuah taman hiburan. Dari warna celananya kita bisa mengira ia adalah pegawai yang pulang dari bekerja, melepas kemejanya, memakai kaos seadanya dan sepatu bersol karet yang nyaman buat ajojing. pelan-pelan lututnya agak menekuk, pantat menukik ke belakang dengan badan doyong ke depan, tangan di samping badan, kadang dinaikan sebatas dada seirama dengan kepala dan badan yang 'ngibing' mengikuti irama musik. Tubuhnya bergoyang sana-sini dengan pelan, kakinya pun semakin bergerak maju, kadang seperti kepiting bergerak miring-miring, kisi-kisi telapak kaki yang dibalut dengan sepatu sneakers bergesekan dengan kisi telapak yang satunya hingga bisa maju-mundur, kanan-kiri.
Begitulah ia bergerak, meniru bentuk gaya goyangan ala bapak-bapak penikmat konser dangdut pada umumnya, hingga musik mulai merancak, ia bergerak maju ke arah kursi berbalut kain hitam, menaikinya layaknya panggung dan sesekali menyawer dengan pelan pada biduan imajiner. Berputar-putar sebentar dengan goyangannya lalu ia turun lagi dan menyawer beberapa hadirin yang lain yang tertegun, terlihat bingung harus menarik duit saweran atau bergeming. Kadang-kadang si penari mengganti gayanya dengan tak kentara, kadang ia hanya berdiri dengan tangan berkacak di pinggang sambil menikmati suasana—meski lagu sedang keras-kerasnya—persis seperti penonton yang malu-malu namun ingin ikut bergoyang dengan si biduan. Kadang bisa kita lihat ia duduk di lantai dalam kondisi berpeluh-peluh sembari minum sebotol air mineral dalam botol, kelelahan dengan aksinya sendiri.
Berikutnya musik semakin pelan, sang penari berdiri tepat di tengah ruang. Sejenak musik berubah dentumnya, mirip house music, ternyata musik berubah ke alunan dangdut koplo. Lagu dari NDX "Kimcil Kepolen" menyuarakan notasi yang lebih rancak. Si penari pun goyangnya berubah menjadi lebih cepat dan ruang geraknya meningkat, kaki yang rapat kini terbuka lebar, pinggul naik dan bergoyang lebih cepat dan tangan mengarah ke atas dan ke bawah tak beraturan. Gaya-gaya lain mulai dikeluarkan oleh si penari, seperti gaya ngibing dengan jemari ngepel dan siku menekuk di depan dada. Hingga tiba saat musik tiba-tiba memelan dan terputus tiba-tiba, mirip suara mesin yang kekurangan minyak. Begitupun gerak si penari turut melambat, memperlihatkan kita akan step-by-step anatomi gerakan yang ia pelajari dari bapak-bapak penonton pergelaran dangdut. Terlihat satire, tapi penuh dengan presisi gerak dan tekanan tubuh yang terlatih.
Yang lain, agaknya kita akan terkecoh kalau si penari terlihat tone-deaf atau tuli nada karena kadang kala ia bergerak sesuka hati meski musik sudah melambat, atau bergerak cepat sedang gerak badannya statis saja. Kelucuan seperti ini tidak akan terlewat kalau kita mengamati gelagat para penonton dangdut sebenarnya. Istilah “Pokoke jodeg” kini bisa dimaklumi, karena para penikmat musik benar-benar ingin melupakan rasionalitas dunia dan menyelami gerak absurd seiring dangdut, perpanjangan dari emosinya masing-masing. Inilah efek terbesar yang dapat dinikmati dari dangdut: emosi yang bisa diluapkan atas kondisi kehidupan sehari-hari rakyat jelata.
Pentas ditutup dengan selesainya musik dan gelapnya ruangan. Lalu seperti biasanya dalam sebuah pertunjukan, terdengar aplaus dari penonton dan lenguhan lega penari. Setelah usai, beberapa tanya jawab dilakukan karena pentas malam itu adalah pentas priviw sebelum tarian dibawa ke Jakarta. Bagi seseorang yang asing, seperti kurator tari dari Jerman, atau seorang bapak yang menawarkan sudut pandang dari penonton yang mungkin cukup awam atas Dangdut, mereka tidak melihat relevansi tarian Ayu kecuali menatap gerakan improvisasi atas musik dangdut, dan gerakan tempo acak yang secara artistik jelas menarik untuk memberikan gambaran baru akan anatomi gerak tari. Namun bagi yang pernah mengalami pentas dangdut baik di kenyataan atau lewat media seperti televisi atau Youtube, bentuk tari Ayu pasti tak asing dan justru menuai decak tawa atau kagum karena Ayu dengan sadar melakukan pandangan yang berbeda atas pentas dangdut yakni menatap ke penonton (laki-laki) yang ditirunya.
Beberapa penonton kehilangan konteks nyata dari dangdut karena tidak adanya bantuan aspek lain yang spesifik dalam panggung kecuali musik dan lampu. Beberapa orang menawarkan sudut pandang konsep lain untuk Ayu seperti meriset goyang penonton yang lain secara lebih dalam, atau menggunakan video atau dekor panggung yang lebih detil untuk menunjukkan konteks; namun Ayu tetap pada pendiriannya bahwa video akan terlalu 'memudahkan’ penonton untuk mengalami konsepnya. Seseorang mempertanyakan kostum dan akan lebih baik jika ada perubahan kecil pada kostum seperti aksesori yang lebih mirip. Di luar itu ada yang menanyakan perihal posisi Ayu ketika ia memilih laki-laki sebagai subjek tarinya tapi ditarikan oleh seorang wanita. Di luar pertukaran gender dan gerak sebenarnya apa yang ia tawarkan? Hal ini bisa saja kompleks, karena pandangan laki-laki atau ‘male gaze’ terhadap perempuan dalam pertunjukan (atau dalam kehidupan sehari-hari) terpatahkan oleh adanya tarian Ayu, atas seorang penonton ‘laki-laki’ yang takluk dan lepas kontrol dan merasa jemawa karena seorang biduan yang hadir di atas panggung. Tapi kita tak pernah tahu karena konteks biduan itu sangat lemah hanya karena suara wanita di musik, jadi pertanyaannya apakah kelemahan atau kekonyolan lelaki itu muncul karena biduan wanita atau karena musik Dangdut semata?